Sering banget gue denger dan baca
motivasi yang mengatakan bahwa kita harus keluar dari zona nyaman. Kalo kita
terus-terusan berada di zona nyaman, kita enggak akan ada kemajuan. Hidup kita
stuck, gitu-gitu ajah. Enggak lulus-lulus kuliah, nganggur terus, jomblo
teruss. #eh
Awalnya gue berfikir ini betul
banget. Orang yang hidup gitu-gitu aja dan taraf penghasilannya gitu-gitu aja harus
disugesti untuk berani keluar dari zona nyaman agar mencapai taraf hidup yang
lebih tinggi. Namun belakangan gue mikir, pepatah itu enggak sepenuhnya benar. Justru
yang membuat seseorang mau keluar dari zonanya bukan karna mau keluar dari zona
nyamannya. Tapi zona nyamannya itu berubah menjadi enggak nyaman, dan membuat
dia ingin keluar mencari zona yang lebih nyaman.
Soalnya ngapain gitu orang mau
pindah kalau dia udah nyaman di situ. Gue ajah udah nyaman sama dia enggak
pernah mau ke yang lain. Eh tapi malah dianya yang balikan sama mantannya. Dan
ngilang entah kemana. Tuh malah gue curhat begini. Maaf terbawa suasana.
Supaya lebih jelas apa yang gue
maksud, gini deh.
Contohnya ada cowok bernama Jun.
Nama panjangnya Junaedi. Jun punya bisnis cilok terbesar di daerah Cirebon.
Omzetnya sampai sepuluh juta perhari. Dengan omzetnya yang besar, dia bisa beli
Samsung S4 tiap hari. Bisa umroh sebulan dua kali. Bisa jadi sponsor acara
Inbox. Jun sangat menikmati kejayaan ini. Jun berada dalam zona nyamannya
sekarang. Tanpa orang-orang tahu Jun memulai bisnisnya dengan susah payah.
Jun memulai bisnisnya dengan gerobak
cilok bekas yang dipinjamkan mantan pacarnya. Nama panggilannya Pupu. Nama
panjangnnya Maspuah. Si Pupu tukang jualan rongsok. Kebetulan ada gerobak
bekas, terus Jun menyewanya dengan jaminan kalau sebulan Jun belum mampu
membayar sewanya, Pupu mengancam akan menyebarkan foto mesum mereka berdua saat
pacaran sehingga Jun malu.
Namun Jun enggak patah semangat. Dengan
semangat sukses dan semangat agar foto mesumnya enggak disebar, Jun bersungguh-sungguh
jualan cilok. Jun terus berinovasi dengan ciloknnya. Dimulai dengan melabeli
ciloknya dengan nama fenomenal, yakni Cilok Drible (dibaca: cilok dribel). Kemudian
Jun melanjutkan dengan berinovasi membuat cilok rasa kaldu ayam, kemudian
berkembang menjadi rasa rendang, dan terakhir menjadi rasa sayang sama mantan
tapi gengsi mengakuinya.
Akhirnya Jun sukses menjadi
pebisnis cilok. Tiap hari uang mengalir ke sakunya. Namun, perlahan Jun merasa
jenuh. Rutinitas sehari-harinya cuma nerima duit sepuluh juta, enggak ada yang
dipikirin. Padahal dia pengen gitu pusing mikirin bisnis ciloknya.
Lama-kelamaan Jun merasa enggak
nyaman dengan hidup yang flat aja. Akhirnya, zona nyaman yang selama ia
tinggali berubah jadi zona yang enggak nyaman. Jun mulai mencari-cari tantangan
baru.
Jun memberanikan diri keluar dari zona enggak nyamannya. Dia mencari
zona nyaman yang dia inginkan, yakni
tantangan baru membuka gerai Cilok Drible di luar kota. Bermula dari satu gerai
cilok di Bandung. Di bandung Jun punya banyak saingan. Jun terus memikirkan
cara agar Cilok Drible-nya diterima masyarakaat luas. Seharian Jun ngelamun di
jamban nyari inspirasi. Kepala Jun sampai pusing dan harus dikompres foto
Pupus. Kenapa dikompres pake foto Pupu bukan pakai es batu? Karna sikap Pupus
lebih dingin dari es batu.
Walaupun menderita, tapi inilah
yang Jun inginkan. Hidupnya kini enggak flat. Dia disibukkan dengan gerai baru Cilok
Drible di Bandung. Jun kini berada di zona nyamannya. Dia senang dengan
tantangan.
Setelah bersusah payah, Cilok
Drible akhirnya terkenal seantero Bandung. Omzet Jun naik tiga kali liat. Kini
Jun bisa beli Honda CBR 250 setiap hari. Jun bisa minta beking supaya kalau ada
pedagang cilok lain mengancam usaha Jun, mereka bisa diciduk dengan tuduhan
mengoplos cilok atau menjual cilok murah dengan harga premium.
Contoh lainnya si Udin.
Sehari-hari Udin kerja sebagai guru honorer di daerahnya. Pendapatannya ala
kadarnya. Dia merasa nyaman karna kerjanya santai. Enggak ada tekanan. Dia nyaman
dengan zonanya. Namun suatu saat orangtuanya membandingkan dia dengan anak
tetangga.
Nyokapnya bilang, “Tuh lihat si
Jun. Sukses jualan Cilok Drible padahal awalnya cuma punya gerobak rongsok. Kamu
kapan bisa merantau sukses kayak dia?”
Lama kelamaan Udin merasa enggak
nyaman diomongin gitu terus. Akhirnya udin memutuskan
untuk pindah merantau ke luar negeri. Udin memilih pergi dari zona yang
udah enggak lagi nyaman. Kini Udin ada di zona baru. Di kehidupan
baru. Dia merantau ke Somalia, bergabung dengan Klub Perompak Kapal Internasional
(International Pirates Club). Untuk bergabung dengan tim mereka, sangat enggak
gampang. Udin diospek sampe hampir mati. Walau di kehidupannya yang baru ini
Udin mendapat tekanan, setidaknya zona ini terasa lebih nyaman daripada di
zonanya yang dulu harus diomongin orang tua untuk pergi merantau.
Contohnya lagi gue.
Gue dulu merasa nyaman di
kehidupan lulus kuliah, pikiran bebas, enggak mikirin tugas lagi. Bisa santai-santai
di rumah nonton FTV, dan kartun di Global TV sepuasnya. Bisa tidur seharian
sepuasnya tanpa mikirin jadwal kuliah kayak sebelumnya. Wah, gue lega banget
semenjak lulus kuliah. Gue juga dapet kerja yang jadwalnya nyantai. Enggak harus
masuk setiap hari. Gajih lumayan dapet buat beli kuota.
Namun gue merasa bosan. Zona ini
enggak lagi nyaman. Rutinitas gue gitu-gitu terus. Sampai suatu saat gue
memutuskan utnuk mencari zona yang lebih nyaman. Gue ikutan SM-3T. Yaitu program guru yang mengajar di
tempat pelosok dan terpencil Indonesia selama satu tahun. Gue nekad ikut
program ini. Padahal gue belum pernah yang namanya jauh dari rumah. Tapi gue
nekad. Alhamdulillah gue akhirnya berhasil lolos dan ditempatkan di Nias. Gue emang
enggak pernah main jauh dari rumah, eh sekalinya main malah kejauhan sampe ke Nias.
Hidup di pedalaman Nias enggak
pernah gampang. Banyak rintangan di dalamnya. Dari mulai suku dan agama
penduduk yang sangat jauh beda dari yang gue punya sehingga menuntut adaptasi
tinggi, sampai kondisi daerah yang tanpa listrik, jalan hancur, sinyal jelek, air
susah. Namun, dibalik kesulitan ini,
gue merasa nyaman. Ini lebih baik
daripada tiap hari tidur di rumah, nonton FTV enggak mutu. Dibalik kesulitan ini, gue merasa inilah zona nyaman gue. Terlebih gue
di sini enggak sendirian. Banyak teman-teman sesama guru SM-3T yang sama-sama
tugas di sini. Gue merasa ada yang menemani. Terutama teman-teman sekamar gue
ini yang sudah tidur bareng bertiga hampir lebih dari sebulan lamanya menanti
penjemputan di kota, membuat gue merasa lebih nyaman.
So, sudah cukup jelas di sini,
bahwa kata, “Keluarlah dari zona nyaman,” harus diganti. Justru harusnya
begini, “Carilah zona ternyaman kamu!”
Mari kita tinggalkan zona enggak
nyaman kita. Mari berjuang mengapai zona paling nyaman dalam hidup kita. Walaupun
zona itu sulit, keras, menyakitkan, tapi harus kita ingat. Inilah zona nyaman
kita. Zona yang kita harus perjuangkan. Nikmatilah sesulit dan sesakit apapun
yang kita rasakan. Jangan gentar!
Oke, sekian tulisan gue kali ini.
Tetap semangat, tetap ceria, tetap percaya jodoh itu pasti ada. #eh
Love you...