3 Januari 2023.
Dua cangkir kopi
mengepul di hadapan kami. Yang satu kopi moka, sedangkan yang lainnya kopi
hitam. Aku memilih kopi hitam. Rasanya lebih nikmat dibandingkan kopi yang
dicampur krim atau kopi. Rasa pahitnya begitu nikmat tanpa gula. Begitu
kehidupan ini yang begitu pahit tanpa gula.
“Jakarta akan
menjadi kota mati,” ucap Profesor Jeki. Ia adalah peneliti dan juga ahli
geografi. Di usianya yang kini sudah mencapai delapan puluh tahun, ia tetap bekerja
sebagai peneliti handal. Dedikasinya dalam dunia geografi dan pemerintahan
tidak pernah surut. Mungkin hanya ajal yang menghentikan ia dari
penelitan-penelitiannya.
“Apa karna ibu
kota kini sudah pindah ke Palangkaraya, anda menganggapnya Jakarta akan mati?”
tanyaku heran.
Profesor Jeki
hanya terdiam. Ia memajukan posisi duduknya. Lengannya bergerak menggapai
secangkir kopi moka yang menurutku kemanisan. Di usia senjanya ia masih sehat.
Padahal manusia seumurannya pasti sudah kena diabetes.
“Slurpp... Ah,
Manis,” ucapnya seraya meminum kopi. Ia belum menjawab apa pertanyaanku. Dari
duduknya ia bangkit. Menuju lemari besi yang berisi berkas-berkas penting. Ia
mengambil sesuatu kertas dari tempat yang tersembunyi. Sebuah kertas yang
sebesar kertas koran. Ia menunjukan kepadaku. “Coba kamu lihat!”
Aku perhatikan
dengan seksama gambar di hadapanku. Sebuah hasil riset komputer yang menunjukan
aktivitas tidak wajar di dalam tanah Jakarta. Suhu di dalamnya berubah-ubah
drastis. Peta pergerakan angin di permukaannya pun memiliki pola yang tidak
wajar. “Aneh sekali Prof. Kenapa Jakarta bisa seperti ini?” tanyaku.
“Ini pengaruh
yang timbul dari radiasi luar angkasa yang memapar Jakarta.”
“M-maksudnya?
Kenapa bisa?” aku tertarik dengan pembahasan ini.
“Mereka akan
datang. Dan kini Jakarta yang menjadi sasarannya,” ucap Profesor sambil meminum
kopi moka yang kemanisan itu.
“Mereka siapa?”
“Alien.”