Showing posts with label info penting. Show all posts
Showing posts with label info penting. Show all posts

Monday, 19 September 2022

Sebuah Comeback

 


Rasanya sudah lama sekali gue enggak menulis. Terakhir gue rutin nulis di blog pada tahun 2018. Saat itu gue sedang menjalani Pendidikan Profesi Guru di UPI Bandung. Di sana banyak sekali cerita yang gue alamin tiap harinya. Dari cerita tentang teman gue yang absurd (namanya Alam), kejadian horor, rasanya jadi tukang susu, sampai drama percintaan yang gagal total. Jadi hampir tiap hari ada aja cerita yang ingin gue tulis di blog.

 

Continue Reading...

Tuesday, 21 May 2019

Kultum Bersama UYG: Merayu Allah



Assalamualaikum, Netizen!

Berjumpa lagi dengan gue. Tak terasa kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Udah jalan dua minggu sih. Telat ya gue baru ngomongin Ramadhan sekarang. Setelah sekian lama enggak nulis blog, akhirnya gue kembali bisa menulis. Kehidupan nyata telah membuat gue males nulis. Padahal banyak kegelisahan dalam hati yang ingin gue ceritakan.

Jadi, sekarang bulan Ramadhan nih. Gue akan mengisi tulisan di blog dengan konten yang lebih bermanfaat dari konten yang biasanya. Postingan ini gue beri nama Kultum Bersama Ustadz Yoga Ganteng, yang disingkat UYG. Bodo amat lah lo mau nerima sebutan itu atau enggak. Yang jelas UYG akan berbagi motivasi keislaman yang akan menggetarkan jiwa, terutama jiwa para jomblo yang masih aja menjalani Ramadhan tahun ini tanpa tambatan hati. Di mana mereka sahur cuma dibangunin toa masjid, bukan kecupan mesra istri di dahi.

Continue Reading...

Thursday, 17 January 2019

Visi & Misi PLN



Pertama-tama, perkenalkan, kami adalah Partai Lama Ngejomblo. Disingkat PLN. Kami memiliki visi dan misi yang brilian dalam memajukan Negara Indonesia. Bergabunglah bersama kami untuk memajukan Indonesia menjadi negara yang hebat. Untuk meyakinkan anda agar memilih PLN, simak penjabaran visi dan misi PLN jika terpilih menjadi presiden Indonesia periode 2019-2024:
Continue Reading...

Friday, 6 July 2018

Rintihan Kamar 203



Kalau dilihat dari judulnya, kesannya ini tulisan horor. Tapi tenang, ini bukanlah tulisan seram. Jadi kamu jangan membayangkan gue akan bercerita tentang sebuah kamar kosong bernomor 203. Tiap malemnya suka terdengar suara rintihan, “Ahh... Hmm... Aduhh...”

Jadi cerita ini bermula setelah kami, mahasiswa PPG UPI Bandung, melakukan Kemah Kepramukaan dan Wisata ria ke Pangandaran. Kegiatan itu berlangsung kurang lebih empat hari. Nah sepulang kami dari Pangandaran, satu-persatu mahasiswa bertumbangan. Mereka jatuh sakit.

Gue yang melihat teman-teman jatuh sakit Cuma bisa mengelus dada sambil bergumam, “Ya Allah, kasian bener mereka. Untung saya sehat.”

Continue Reading...

Sunday, 31 December 2017

2017 yang Unyu



Tahun 2017 akan berakhir dalam hitungan jam. Semuanya terasa singkat. Padahal baru tahun lalu gue melewati pergantian tahun 2016 ke 2017 di Pulau Nias. Kini gue akan mengalami pergantian tahun lagi. Namun di Pulau Jawa.

Gue kembali mengingat apa saja yang gue lakukan sepanjang tahun 2017 ini. Kayaknya gue masih banyak dosa di tahun ini. Masih banyak kesalahan yang perlu gue perbaiki di tahun kedepan. Masih suka kepancing untuk ngomongin temen di belakang. Masih suka bikin nyokap cemberut bete. Dan masih belum konsisten ibadah dengan baik.

Gue juga belum merasa ada prestasi apa-apa yang bisa gue banggakan. Belum bisa tampil di tivi jadi peserta Dangdut Academy.

Namun ada satu capaian yang membuat gue bersukur. Karna capaian ini digapai tidak mudah bagi gue pribadi. Gue beruntung bisa ikut dalam program SM-3T. Kepanjangannya: Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Ini adalah program pemerintah yang menugaskan guru untuk mengajar di daerah terpencil di pelosok Indonesia. Sungguh program yang kece!

Tiap tahun program ini banyak peminatnya. Tembus sampai lebih dari 90.000 pelamar. Namun kuota yang disediakan enggak sampai sebanyak itu. Cuma 1/3-nya. Dan gue beruntung bisa termasuk dalam 1/3 bagian itu.

Dengan program ini, mata gue terbuka. Pendidikan di Indonesia sungguh timpang banget. Bertugas di Nias Selatan, gue menemui siswa yang masih belum bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari dia berkomunikasi pakai bahasa daerah. Gue jadi bingung sendiri ngajar ni bocah. Sampai-sampai gue meminta salah seorang temannya yang bisa berbahasa Indonesia untuk menjadi penerjemah gue.

Di sisi lain gue heran, tiap kurun waktu tertentu, pemeintah merubah kurikulum. Padahal masalah  mendasar pendidikan Indonesia adalah di pemerataannya. Enggak ada yang salah menurut gue dengan kurikulum pendidikan Indonesia. Kurikulum kita udah kece banget. Yang salah justru ketimpangan pendidikan. Gue berharap pemerintah menguras energi berpikir mereka untuk meratakan pendidikan, bukan untuk merubah-ubah kurikulum pendidikan. Walaupun menurut gue kurikulum juga penting banget.

Dan masalah yang dihadapi siswa di pelosok juga mengenai insfrastruktur. Kondisi jalan di tempat gue mengajar: desa Boronadu, Nias Selatan, bener-bener kacau. Jalan penghubung antar desa cuma terbuat dari batu kali yang di susun. Iya beneran. Batu kali. Batu gede-gede yang biasa dipake untuk pondasi bangunan. Kebayang enggak tuh naik motor lewat jalan yang tersusun dari batu kali gede begitu. Udah gitu jalannya naik turun curam, khas perbukitan. Jalanan kayak gitu sungguh menguras fisik. Menghancurkan badan. Bahkan Valentino Rossi kalo tiap hari bawa motor di jalan begitu bisa turun berok tuh gue yakin.
Continue Reading...

Friday, 24 November 2017

Jomblo Selektif





Gue dikenal sebagai jomblo mengenaskan sama temen-temen gue di kampus. Citra gue rusak di mata mereka. Pokoknya tiap gue kumpul bareng mereka, kesannya gue yang paling ngenes. Kesepian, enggak punya pacar. Gagal terus tiap menggebet.

Memang sih gue ini jomblo. Kejombloan gue sudah menahun. Bahkan dari lahir sampe sudah bisa bikin cewek lahiran gini, gue cuma satu kali punya pacar. Namun gue jomblo bukan karna enggak laku. Tapi gue jomblo karna selektif memilih pasangan.

Gini-gini gue pernah nolak cewek SEBELUM dia nembak gue. Gue juga pernah nolak cewek SAAT dia nembak gue. Dan terakhir, ini paling absurd, gue pernah menolak untuk jadi SELINGKUHAN. Beuh!

Jadi ceritanya begini.

Semester awal kuliah

Continue Reading...

Thursday, 9 November 2017

Ketika Cewek jadi Wasit Bola



Kemarin gue lihat berita olahraga di TV, dan salah satu segmennya membahas profil seorang wasit sepakbola wanita asal German. Namanya Bibiana Steinhaus. Gue langsung kebayang gitu, seorang cewek dengan segala keribetannya, harus memimpin pertandingan sepakbola. Menurut gue ini enggak gampang, Cuy. Dan pikiran gue mulai berfikir yang macem-macem. Bakalan banyak hal absurd yang terjadi di lapangan seandainya sepakbola dipimpin oleh seorang wasit perempuan.

Dan berikut keabsurdan yang bakal terjadi kalo wasit perempuan memimpin pertandingan sepakbola:

Continue Reading...

Saturday, 28 October 2017

Sumpah Pemuda Jaman Now

Sebagai pemuda, pada Hari Sumpah pemuda di tanggal 28 Oktober ini, gue merasa terpanggil. Secara gue ini seorang pemuda, ya walaupun gue sering dipanggil “Bapak,” bahkan “Om.” Di Indomaret, gue ditanya, “Ada kartu Indomaretnya, PAK?” Di toko ikan gue dibilang, “Cupang yang ini bagus, OM!”

Di situ gue merasa menjadi pemuda lanjut usia.

Gue ngerasa kita sebagai pemuda bangsa harus berbuat sesuatu untuk negeri ini. Terutama di Hari Sumpah Pemuda ini, renungkan lah kita sebagai pemuda. Karna menurut gue negeri ini udah nyaris bobrok. Korupsi dimana-mana. Dari tingkat tinggi mentri, sampai tingkat cetek, kepala desa. Seolah korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Instansi antar pemerintah saling melemahkan. Saling serang. Mobil dinas kesenggol dikit aja langsung angkat senjata. Gue sedih melihat ini.

Enggak lama lagi, kita generasi pemuda penerus bangsa akan mengambil alih negara ini. Bapak-bapak kita akan segera lengser. Pensiun dari jabatannya dalam negeri ini. Gue berharap, kita akan menjadi penerus generasi yang lebih baik dari sebelumnya. Terutama kita para generasi 90-an.

Continue Reading...

Tuesday, 19 September 2017

Home Sweet Home




Setelah satu tahun terdampar di negeri antah berantah, akhirnya gue kembali pulang ke rumah. Gue kembali menghirup udara pekarangan kota. Kembali bobo di atas kasur kesayangan. Kembali pup di jamban rumah yang paling nyaman. Rasanya bahagiaa banget.

Jadi gini, gue baru saja melakasanakn tugas sebagai guru yang diutus mengajar di tempat terpencil di Indonesia. Gue bertguas di pedalaman Pulau Nias, Provinsi Sumatra Utara. Di sana keadaannya sangat terpencil. Akses susah, jalan hancur, listrik belum ada, Indomaret hanya mitos.

Gue cukup syok harus tinggal di tempat itu selama setahun. Bayangin aja gue terbiasa tinggal di tempat yang cukup maju. Fasilitas lengkap. Jalanan mulus kayak pipi Isyana. Listrik selalu ada, Indomaret bertebaran di mana-mana, bahkan banyaknya ngelebihin banyak warung tradisional di tempat gue. Gegara Indomaret dimana-mana, sampe beli masako doang gue pergi ke Indomaret. Namun gue harus meninggalkan fasilitas serba lengkap itu dan tinggal di tempat yang terpencil.

Continue Reading...

Thursday, 3 August 2017

Keluar dari Zona Nyaman is Bullshit





Sering banget gue denger dan baca motivasi yang mengatakan bahwa kita harus keluar dari zona nyaman. Kalo kita terus-terusan berada di zona nyaman, kita enggak akan ada kemajuan. Hidup kita stuck, gitu-gitu ajah. Enggak lulus-lulus kuliah, nganggur terus, jomblo teruss. #eh

Awalnya gue berfikir ini betul banget. Orang yang hidup gitu-gitu aja dan taraf penghasilannya gitu-gitu aja harus disugesti untuk berani keluar dari zona nyaman agar mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Namun belakangan gue mikir, pepatah itu enggak sepenuhnya benar. Justru yang membuat seseorang mau keluar dari zonanya bukan karna mau keluar dari zona nyamannya. Tapi zona nyamannya itu berubah menjadi enggak nyaman, dan membuat dia ingin keluar mencari zona yang lebih nyaman.

Soalnya ngapain gitu orang mau pindah kalau dia udah nyaman di situ. Gue ajah udah nyaman sama dia enggak pernah mau ke yang lain. Eh tapi malah dianya yang balikan sama mantannya. Dan ngilang entah kemana. Tuh malah gue curhat begini. Maaf terbawa suasana.

Supaya lebih jelas apa yang gue maksud, gini deh.

Contohnya ada cowok bernama Jun. Nama panjangnya Junaedi. Jun punya bisnis cilok terbesar di daerah Cirebon. Omzetnya sampai sepuluh juta perhari. Dengan omzetnya yang besar, dia bisa beli Samsung S4 tiap hari. Bisa umroh sebulan dua kali. Bisa jadi sponsor acara Inbox. Jun sangat menikmati kejayaan ini. Jun berada dalam zona nyamannya sekarang. Tanpa orang-orang tahu Jun memulai bisnisnya dengan susah payah.

Jun memulai bisnisnya dengan gerobak cilok bekas yang dipinjamkan mantan pacarnya. Nama panggilannya Pupu. Nama panjangnnya Maspuah. Si Pupu tukang jualan rongsok. Kebetulan ada gerobak bekas, terus Jun menyewanya dengan jaminan kalau sebulan Jun belum mampu membayar sewanya, Pupu mengancam akan menyebarkan foto mesum mereka berdua saat pacaran sehingga Jun malu.

Namun Jun enggak patah semangat. Dengan semangat sukses dan semangat agar foto mesumnya enggak disebar, Jun bersungguh-sungguh jualan cilok. Jun terus berinovasi dengan ciloknnya. Dimulai dengan melabeli ciloknya dengan nama fenomenal, yakni Cilok Drible (dibaca: cilok dribel). Kemudian Jun melanjutkan dengan berinovasi membuat cilok rasa kaldu ayam, kemudian berkembang menjadi rasa rendang, dan terakhir menjadi rasa sayang sama mantan tapi gengsi mengakuinya.

Akhirnya Jun sukses menjadi pebisnis cilok. Tiap hari uang mengalir ke sakunya. Namun, perlahan Jun merasa jenuh. Rutinitas sehari-harinya cuma nerima duit sepuluh juta, enggak ada yang dipikirin. Padahal dia pengen gitu pusing mikirin bisnis ciloknya.

Lama-kelamaan Jun merasa enggak nyaman dengan hidup yang flat aja. Akhirnya, zona nyaman yang selama ia tinggali berubah jadi zona yang enggak nyaman. Jun mulai mencari-cari tantangan baru.

Jun memberanikan diri keluar dari zona enggak nyamannya. Dia mencari zona nyaman yang dia inginkan, yakni tantangan baru membuka gerai Cilok Drible di luar kota. Bermula dari satu gerai cilok di Bandung. Di bandung Jun punya banyak saingan. Jun terus memikirkan cara agar Cilok Drible-nya diterima masyarakaat luas. Seharian Jun ngelamun di jamban nyari inspirasi. Kepala Jun sampai pusing dan harus dikompres foto Pupus. Kenapa dikompres pake foto Pupu bukan pakai es batu? Karna sikap Pupus lebih dingin dari es batu.

Walaupun menderita, tapi inilah yang Jun inginkan. Hidupnya kini enggak flat. Dia disibukkan dengan gerai baru Cilok Drible di Bandung. Jun kini berada di zona nyamannya. Dia senang dengan tantangan.

Setelah bersusah payah, Cilok Drible akhirnya terkenal seantero Bandung. Omzet Jun naik tiga kali liat. Kini Jun bisa beli Honda CBR 250 setiap hari. Jun bisa minta beking supaya kalau ada pedagang cilok lain mengancam usaha Jun, mereka bisa diciduk dengan tuduhan mengoplos cilok atau menjual cilok murah dengan harga premium.

Contoh lainnya si Udin. Sehari-hari Udin kerja sebagai guru honorer di daerahnya. Pendapatannya ala kadarnya. Dia merasa nyaman karna kerjanya santai. Enggak ada tekanan. Dia nyaman dengan zonanya. Namun suatu saat orangtuanya membandingkan dia dengan anak tetangga.

Nyokapnya bilang, “Tuh lihat si Jun. Sukses jualan Cilok Drible padahal awalnya cuma punya gerobak rongsok. Kamu kapan bisa merantau sukses kayak dia?”

Lama kelamaan Udin merasa enggak nyaman diomongin gitu terus. Akhirnya udin memutuskan untuk pindah merantau ke luar negeri. Udin memilih pergi dari zona yang udah enggak lagi nyaman. Kini Udin ada di zona baru. Di kehidupan baru. Dia merantau ke Somalia, bergabung dengan Klub Perompak Kapal Internasional (International Pirates Club). Untuk bergabung dengan tim mereka, sangat enggak gampang. Udin diospek sampe hampir mati. Walau di kehidupannya yang baru ini Udin mendapat tekanan, setidaknya zona ini terasa lebih nyaman daripada di zonanya yang dulu harus diomongin orang tua untuk pergi merantau.

Contohnya lagi gue.

Gue dulu merasa nyaman di kehidupan lulus kuliah, pikiran bebas, enggak mikirin tugas lagi. Bisa santai-santai di rumah nonton FTV, dan kartun di Global TV sepuasnya. Bisa tidur seharian sepuasnya tanpa mikirin jadwal kuliah kayak sebelumnya. Wah, gue lega banget semenjak lulus kuliah. Gue juga dapet kerja yang jadwalnya nyantai. Enggak harus masuk setiap hari. Gajih lumayan dapet buat beli kuota.

Namun gue merasa bosan. Zona ini enggak lagi nyaman. Rutinitas gue gitu-gitu terus. Sampai suatu saat gue memutuskan utnuk mencari zona yang lebih nyaman. Gue ikutan SM-3T. Yaitu program guru yang mengajar di tempat pelosok dan terpencil Indonesia selama satu tahun. Gue nekad ikut program ini. Padahal gue belum pernah yang namanya jauh dari rumah. Tapi gue nekad. Alhamdulillah gue akhirnya berhasil lolos dan ditempatkan di Nias. Gue emang enggak pernah main jauh dari rumah, eh sekalinya main malah kejauhan sampe ke Nias.

Hidup di pedalaman Nias enggak pernah gampang. Banyak rintangan di dalamnya. Dari mulai suku dan agama penduduk yang sangat jauh beda dari yang gue punya sehingga menuntut adaptasi tinggi, sampai kondisi daerah yang tanpa listrik, jalan hancur, sinyal jelek, air susah. Namun, dibalik kesulitan ini, gue merasa nyaman. Ini lebih baik daripada tiap hari tidur di rumah, nonton FTV enggak mutu. Dibalik kesulitan ini, gue merasa inilah zona nyaman gue. Terlebih gue di sini enggak sendirian. Banyak teman-teman sesama guru SM-3T yang sama-sama tugas di sini. Gue merasa ada yang menemani. Terutama teman-teman sekamar gue ini yang sudah tidur bareng bertiga hampir lebih dari sebulan lamanya menanti penjemputan di kota, membuat gue merasa lebih nyaman.



So, sudah cukup jelas di sini, bahwa kata, “Keluarlah dari zona nyaman,” harus diganti. Justru harusnya begini, “Carilah zona ternyaman kamu!”

Mari kita tinggalkan zona enggak nyaman kita. Mari berjuang mengapai zona paling nyaman dalam hidup kita. Walaupun zona itu sulit, keras, menyakitkan, tapi harus kita ingat. Inilah zona nyaman kita. Zona yang kita harus perjuangkan. Nikmatilah sesulit dan sesakit apapun yang kita rasakan. Jangan gentar!

Oke, sekian tulisan gue kali ini. Tetap semangat, tetap ceria, tetap percaya jodoh itu pasti ada. #eh


Love you...
Continue Reading...

Friday, 7 July 2017

Tips Jitu Memilih Pasangan Hidup




Manusia adalah makhluk sosial. Karna itu mereka butuh manusia lain dalam menunjang kehidupannya. Contohnya dari hal kecil seperti upload foto di instagram. Manusia butuh orang lain untuk fotoin dia lagi berpose. Temen gue si Cucu, minta gue fotoin dia lagi bergaya di pinggir pantai. Sampe tangan gue keram karna dia minta foto puluhan kali. Dia enggak pernah merasa puas dengan hasil jepretan gue dan selalu ngerasa pipinya terlalu gendut. Gue harus nyari angle yang sempurna demi menyembunyikan buntelan lemak di pipi Cucu.

Begitu juga dengan hal lain. Manusia butuh keluarga sebagai tempat berinteraksi pertama kali, butuh teman untuk berbagi, dan juga butuh pasangan hidup untuk berkembang biak. Poin terakhir adalah yang paling penting.

Continue Reading...

Monday, 20 June 2016

Orang-orang Kampungan


Menurut gue di Indonesia masih banyak orang kampungan. Mereka ini yang bikin Indonesia enggak enak dipandang. Mereka pengacau kestabilan negara ini. Gue risih sama mereka. Bahkan kalo bisa pengen banget rasanya gue nitipin mereka untuk diangkut ke luar angkasa bareng satelit BRI tempo hari.

Orang kampungan yang gue maksud ini berbeda dengan yang digambarkan di FTV. Kalo di FTV orang kampungan digambarkan memiliki gaya bicara yang medhok, kalo diajak ke Jakarta bakal celingukan kayak orang kesasar melihat gedung-gedung tinggi, atau suka menggunakan daster gembel sambil netek-in anaknya. Bagi gue bukan seperti itu orang kampungan. Di mata gue orang kampungan justru orang kota, berpendidikan, tapi otaknya enggak dipake.

Orang yang suka buang sampah sembarangan. Sumpah, ini kampungan banget. Di eropa, orang buang sampah sembarangan bisa kena denda jutaan rupiah. Minimal mereka kena hukuman sosial dengan dicibir dan dilihatin orang sekitar dengan ekspresi tatapan ngelihat orang boker sembarangan.

Sadar enggak sih sewaktu SD kita dididik untuk tidak membuang sampah smebarangan. Jelas sekali bahkan sampai disebutkan oleh guru dampaknya menyebabkan banjir dan penyakit. Tapi justru pendidikan yang dasar banget itu enggak mereka pake saat sudah dewasa. Dasar kampungan! Kayak orang enggak sekolah! Jauh tertinggal pemikirannya dari orang eropa yang maju.

Gue sempat ketemu seorang pemuda gagah dan ganteng. Ia mengenakan almamater kampus terkenal di Indonesia sambil menenteng keresek Indomaret. Keringat menetes perlahan di dahinya karna udara panas yang menyengat kala itu. Kemudian ia mengeluarkan isian dari kresek Indomaret yang ia bawa. Itu eskrim. Dia ngupas eskrim itu, kemudian dengan enaknya ngemut-ngemut eskrim. Lidahnya bermain lihai menjilati ujung eskrim atas sampai kebawah, menyentuh tangkainya. Gue ngiler dibuatnya. Beberapa kali gue menelan ludah. Sumpah, udara panas bikin gue pengen makan eskrim juga, tapi apa daya, uang gue cuma cukup untuk naik angkot pulang.

Pemuda gagah dan ganteng itu membuang sembarangan bungkus eskrimnya. Pengen banget gue pungut tuh bungkus eskrim, lalu gue buang ke tempat sampah. Namun gue membatalkan niat baik itu. Gue khawatir ketika memungutnya, gue tergoda untuk menjilati lelehan eskrim yang tertempel di bungkusnya.

Continue Reading...

Friday, 10 June 2016

Pacaran yang Islami



Orang bilang, “Enggak ada yang namanya pacaran Islami. Karna pacaran dalam Islam itu enggak boleh.”

Menurut gue itu salah. Dalam Islam juga boleh kok pacaran, asalkan sebelumnya menikah dulu. Ehehe.

Yup, jadi maksud gue, pacaran yang Islami itu ya yang pacarannya sesudah menikah. Sebagai pasangan pengantin muda, pasti asyik ngejalanin kegiatan seperti orang pacaran. Misalnya nge-date tiap malam minggu. Tujuan ngedate bisa bervariasi. Bisa terkadang nonton, makan di cafe yang mengadakan stand up comedy, seperti Komunitas Stand Up Comedy Cirebon yang sealu rutin mengadakan open mic tiap malem minggu, atau pilihan terakhir gelap-gelapan berdua di kuburan.

Loh, enggak ada salahnya dong mojok gelap-gelapan di kuburan. Kalo digerebek polisi kayak di acara 86, tunjukin surat nikah. Yang penting kan udah nikah. Asal jangan gelap-gelapan di kuburan sambil pesugihan. Itu termasuk musyrik. Kalo udah musrik, rontok dah semua amalan dari awal banget hidup sampe sekarang. Pahala waktu dulu rela beli pecin di warung karna disuruh nyokap padahal lagi asik nonton drama korea, hangus sudah. Gile, rugi benerrr!

Well, menikahlah di usia muda. Biar masih bisa pacaran. Lagi pula pasangan pengantin muda tuh enak dipandang. Apalagi pas di pelaminan. Kayaknya enak gitu melihat sepasang muda mudi yang di atas pelaminan pernikahan. Pengantin ceweknya cantik enak dilhat. Lengannya masih kencang dan kecil, tubuhnya ideal. Sementara pengantin cowok nampak ganteng dan enak dipandang. Rambutnya masih tebal. Perutnya masih rata. Kumis dan jenggotnya masih tipis sehingga wajahnya cute abis. Rasanya kayak nonton pernikahan di FTV.

Jangan sampe kayak pengalaman gue. Waktu itu gue nganterin nyokap menghadiri hajatan pernikahan. Pasangannya tua banget. Yang cowok rambut depannya sudah rontok. Perutnya segede tabung gas elpiji 12 kilo karna kebanyakan lemak. Kumisnya baplang. Yang cewek juga enggak kalah tuanya. Lengannya bengkak segede tiang telepon. Mata gue sepet ngeliat yang beginian. Bawaannya pengen cepet pulang, enggak makan di tempat hajatan. Kalo bisa hidangan dibekel aja pake rantang.

So, nikah aja dulu, pacaran kemudian. Biar bisa menikmati pacaran yang Islami di usia muda gitu.

By the way, ini cuma opini pribadi aja. Kalo belum ada modal untuk nikah dan belum sanggup mental, ya tahan dulu sih. Soalnya gue juga masih jomblo. Hiks!

Sedih kalo diceritain mah.

Demikian postingan gue kali ini. Jadi kesimpulannya pacaran yang Islami itu ada kok. Iyah, ada.

Continue Reading...

Friday, 4 March 2016

Rio, F1, dan Kearifan Lokal Indonesia di Mata Dunia





Melihat berita di atas, gue merasa bangga sekaligus salut dengan Rio Haryanto. Awal mula perjuangannya di dunia balap mobil bener-bener enggak gampang. Bayangin aja, ia dipandang sebelah mata awalnya. Ketika juara di GP Turky, lagu Indonesia Raya aja enggak ada di playlist panitia sampe akhirnya Rio nyanyi lagu itu sendiri pake mulut.

Namun siapa sangka, bocah ingusan yang dipandang sebelah mata itu, kini bisa mengendarai mobil F1, mobil balap paling mahal di dunia. Berkat kerja kerasnya dan doa ibu, Rio bisa menembus F1 dan menjadi satu-satunya orang Asia yang berlaga di F1 2016 ini.

Di umurnya yang 23 tahun ini, Rio sudah bisa balap F1, sedangkan gue di umur 23 tahun nyalip emak-emak naek matic aja enggak mampu. Lemah!

Continue Reading...

Sunday, 28 February 2016

Perjalanan Seorang Mualaf (Repost)


Suka terlintas di fikiran, jika gue lahir dalam keadaan bukan Islam, apakah gue akan memutuskan masuk Islam?

Gue beruntung terlahir dari rahim seorang perempuan muslim. Secara otomatis gue masuk agama Islam setelah diadzani dan diiqomati. Gue tumbuh sebagai lelaki muslim. Hari-hari yang gue lalui, gue habiskan untuk beribadah. Tiap waktu solat, gue solat. Saat masuk bulan Ramadhan, gue puasa. Tiap nonton Tivi terus tiba-tiba muncul Jupe beserta dada besarnya yang bergoyang-goyang dalam iklan Segar Sari Susu Soda, gue langsung nutupin mata.

Terkadang,  gue merasa sudah menjadi muslim yang taat banget. Namun, satu hal yang gue renungin, yaitu kegiatan ibadah gue hanya sebatas kegiatan harian. Gue melakukan ibadah namun jarang memikirkan kedekatan batin gue dengan Allah. Gue enggak pernah nangis dalam solat. Gue enggak pernah mewek tengah malem karna menyesali kesalahan gue. Gue enggak pernah jerit-jerit karna takut Allah memasukan gue ke neraka karna kesalahan yang gue lakuin selama ini.

Walaupun ibadah gue lancar jaya, tapi batin gue masih kurang mendekati Allah.

Gue makin merasa tercambuk setelah membaca tweet bersambung dari Tante Lucy Wiryono di akun twitter-nya @lucywiryono.

Saat itu Tante Lucy menceritakan pengalaman dirinya masuk Islam. Iyah, beliau adalah mualaf. Tante Lucy yang noteabene seorang mualaf, tapi sudah pernah merasakan tangis dan mewek dalam solatnya karna merasakan kebesaan Allah, sedangkan gue yang muslim dari lahir belum pernah seperti itu. Gue terpukul!

Membaca kisah Tante Lucy membuat gue kagum, terkesan, dan terharu. Kisahnya masuk Islam sangat enggak gampang. Banyak rintangan yang ia hadapi. Kini gue akan kembali menuliskan kisah Tante Lucy yang sebelumnya pernah gue tulis di blog ini di sini.

Berikut kisah lengkapnya yang gue kumpulkan dari tweet beruntunnya di @lucywiryono

Nyokap dan bokap gue tuh emang beda agama. Tapi dari kecil gue dibesarkan secara agama nyokap gue. Bokap gue juga nggak pernah berusaha untuk “menarik” gue untuk ikut agamanya. Jadi, semua perbedaan dirumah berjalan begitu saja. Tapi, kalo pas Bulan Puasa gue suka nemenin bokap makan sahur. Ikut-ikutan puasa juga, meski cuma setengah hari.

Waktu kecil sih nggak mikir apa-apa. Semakin gue gede, pas SMA mulai kepikiran deh “kenapa kok kayaknya gue cuma  ngejalanin ritual agama gue doang.”

Susah buat dijelasinnya, tapi gue ngerasa dengan ngejalanin ritual itu kok masih ada perasaan “kosong,” tapi gue nggak tahu apa dan kenapa. Pas sekolah pun gue dapet pacar yang selalu agamanya Islam. Tapi, berhubung masih bau dengkul, orang tua gue nggak ngelarang. Tentunya berhubung pacar gue puasa, jadi gue ikutan puasa deh. Toleransi gitu, dari pada gue gangguin dia puasa.

Tapi, justru dari situ gue belajar dikit-dikit soal puasa. Tiap menjelang buka puasa, gue dengerin tuh ceramah-ceramah ustadz di tivi-tivi. Dan gue mulai tertarik. Itu berlangsung sampe gue kuliah. Nah, pernah juga gue mimpi pake mukena dan solat. Gue Tanya kebokap maksudnya apa.

Gue Tanya ke bokap, “Apa jangan-jangan itu yang namanya hidayah kali ya, Pah?”

Bokap gue cuma jawab, “Ah, kamu mau munggah derajat aja kali.”

Pokoknya semasa kuliah, gue semakin kepikiran soal Islam. Dan beberapa kali mimpi solat lagi.

Terus ada kejadian aneh. Gue nggak pernah cerita ke temen-temen gue kalo gue tertarik sama Islam. Gue takut kalo kepindahan gue ini bukan karna keinginan gue sendiri, tapi terpengaruh orang laen.

Ini anehnya, ada temen padahal nggak deket-deket amat. Malahan gue nggak pernah cerita ke dia soal ketertarikan gue sama Islam. Pas di kampus dia bilang, “Luc, lo suka bacakan? Gue pinjemin buku, ya. Keren deh!”

“Buku apaan?”

Dia nggak kasih tahu, sampe akhirnya dia bawain ke gue “buku” itu. Asli, gue kaget banget! Karna buku yang dia bawa itu Al-Qur’an.

“Heh, Al-Qur’an?” kata gue.

“Iya.”

“Gimana gue bacanya?”

“Di situ ada terjemahannya, kok!”

Gua bener-bener bingung, kok tiba-tiba dia kasih gue Al-Qur’an. Gue coba mulai baca tu Al-Qur’an, sangat menarik. Beberapa kali Bualan Puasa, gue semakin intensif ngikutin ceramah-ceramah menjelang berbuka. Suatu hari yang ada di pikiran gue, “gimana kalo gue meninggal, gue nggak punya keyakinan beragama, yang gue punya cuma ritual. Apa gue ‘pindah’ aja ya?”

Gue memberanikan diri bilang ke bokap gue dulu, karna gue amat sangat dekat sama bokap. Ya, dia orang pertama yang gue kasih tahu.

“Pah, aku kayanya pengen masuk Islam deh.”

“Jangan buru-buru, Islam itu nggak gampang, Luc,” bokap gue bilang.

“Untuk jalanin perintah Islam yang paling dasar aja nggak cukup seumur hidup,” kata bokap gue lagi. Bokap gue juga bilang, “Mama kamu juga bakal susah diyakinin, lo. Cobaan seorang mualaf itu luar biasa, Luc. Yakinin diri kamu, Luc.”

Tapi gue yakin, dan gue mita tolong untuk cariin ustadz yang bisa bantu meng-Islamkan gue. Temen kuliah gue ngajak gue ke seorang ustadz di daerah Pasar Minggu.

Si ustadz bilang, “Yakin mau jadi mualaf? Harus yakin, karna ujiannya luar biasa!”

Ya gue jawab aja “yakin.” Kalimat syahadat terucap sudah. Abis itu sih rasanya masih biasa aja, sampe akhirnya gue pulang ke rumah. Di rumah, gue coba sholat untuk pertama kalinya. Ambil air wudhu pertama rasanya aneh. Mukena dipake, sejadah digelar dan buku tuntunan sholat dibuka. Secara sebelumnya gue nggak pernah sholat sama sekali, jadi gue hafalin dulu doa dan gerakannya, soal khusuk mah bertahaplah. Solat sambil nyontek buku? Yah, mana ada khusuknya. Lebih banyak perasaan bungungnya, sampe akhirnya gue sujud untuk pertama kalinya.

Perasaan pas sujud pertama itu luar biasa, gue nangis sejadi-jadinya. Saat itu gue ngerasa menemukan “rumah” gue. Qolbu ini bergetar hebat. Di sujud itu, pertama kalinya dalam hidup gue, gue merasakan yang namanya kebesaran Tuhan dan gue ngerasa gue ini nggak ada apa-apanya. Susah buat ngegambarin perasaan gue waktu itu. Katanya nemu pacar itu serasa nemuin potongan hati yang ilang, tapi ini sejuta kali lebih dahsyat.

Orang pertama yang gue certain tentunya bokap. Terus dia bilang, “Alhamdulillah, tapi kamu harus serius, ya! Jangan bilang mama dulu.”

Kenapa nggak boleh bilang ke nyokap gue dulu? Ya, karena takutnya beliau kaget dan nggak bisa nerima kepindahan gue ini. Jadi bokap pengen ngomong duluan, semacam preambule lah. Bokap gue adalah benteng gue. Gue sangat mengharapkan dia bisa meyakinkan nyokap gue.

Inget banget pas mau “pindah,” ustadz bilang, “Cobaan seorang mualaf itu besar, Allah ingin menguji kamu apakah kamu istikomah atau tidak.”

Ujian? Sepertinya ujian pertama gue sebagai pemeluk Islam adalah bokap gue meninggal, tepat dua minggu setelah gue jadi mualaf. Bokap gue meninggal sebelum beliau buka jalan untuk memberi pengertian ke nyokap gue. Asli, gue takut dan ngerasa sendiriian saat itu.

Bokap gue emang stroke, tapi pada saat-saat terakhir hidupnya, beliau malah sehat-sehat aja. Beliau meninggal subuh. Saat itu rencananya mau pergi, tapi beliau mengeluh sesak dan minta diusap sama nyokap. Beliau tiduran, dan “pergi” gitu aja. Gue kaget banget, panik, takut, dan bingung. Gimana jelasinnya ke nyokap? Mana bokap gue baru meninggal, bisa perang dunia nanti.

Gue nunggu saat yang tepat, sampe suasana duka mereda dulu. Tapi Tuhan punya sekenario lain. Beberapa hari setelah bokap meninggal, gue mau sholat maghrib dan mendoakan beliau. Biasanya gue ambil air wudhu dulu baru gelar sejadah. Gue selalu kunci kamar kalo mau sholat, kan nyokap belum tau.  Sore itu gue malah gelar sajadah dulu, terus ambil air wudhu. Tiba-tiba nyokap masuk kamar, dia kaget.

“Apa ini?” kata nyokap.

“Aku pindah, Mah. Aku meluk Islam sekarang.”

Nyokap gue marah besar waktu itu. Ya, wajarlah kaget dan nggak nyangka. Nyokap gue sama sekali nggak tahu tentang “pencarian” gue selama ini. Gue cuma bilang ke nyokap kalo gue nggak bisa bohongin hati gue. Gue ngerasa Islam itu rumah gue. Dan kalo meninggal suatu saat nanti dan ditanya apa agama gue, gue bakal jawab “Islam” dengan mantap.

Gue nggak bisa jalanin agama kalo hati gue nggak di situ. Emang susah untuk ngeyakinin nyokap, ada saatnya gue sahur dan buka puasa sendirian, sholat Ied ke masjid sendirian. Tapi, ya gue jalanin aja saat-saat itu. Meskipun secara fisik gue sendirian, tapi hati gue ngerasa seneng-seneng aja jalaninnya. Gue punya Allah, kenapa gue harus ngerasa sendiri?

Kira-kira begitulah pengalaman mualaf gue. Itu semua mendasari pemikiran gue bahwa hubungan gue sama Tuhan itu sangat personal. Gue ngerasa nggak perlu menceritakan apapun ke manusia lain seberapa religiusnya gue. Mau dibilang apa kek, yang penting di hati gue ini ada Allah SWT. Manusia itu bisa ninggalin kita kapan aja, tapi Allah nggak!

Demikianlah kisah Tante Lucy dalam pencarian Tuhan. Semoga apa yang tertulis di atas dapat sama-sama kita jadikan pelajaran.


This is the end of the post. Please subscribe and share the inspiration!
Continue Reading...

Wednesday, 27 January 2016

Nasib Generasi 90-an


Waktu nyokap gue ke rumah sakit nemenin bibi check up, ada pasien remaja perempuan yang menderita penyakit kronis. Di umurnya yang baru lulus SMA, 18 tahun, ia sudah menderita diabetes.

“Itu beneran, Mah?” tanya gue ke nyokap, kurang yakin.

“Mamah juga kaget,” ternyata nyokap juga tercengang.

Gue sempet mikir, mungkin penyebab remaja cewek itu kena diabetes karna keseringan dikasih janji manis sama cowoknya. Namun, gue enggak mau salah perkiraan. Gue tanya langsung ke nyokap, “Emang awal mulanya kenapa, Mah, kok bisa sampai kena diabetes?”

“Dokter bilang kemungkinan karna keseringan minum minuman botol,” nyokap menjelaskan sambil ngulek terasi. Iya, latar tempat kejadian obrolan gue dan nyokap di dapur. Ketika gue melewati dapur sesudah dari kamer mandi untuk mandi pagi, nyokap menghadang sambil bilang, “Yoga, sini mamah mau cerita.” Padahal waktu itu gue masih pake handuk doang.

“Minuman botol? Aqua?” lanjut gue bertanya.

“Ih! Bukan. Minuman botol berasa,” nyokap menjelaskan sambil meninju terasi dengan ulekannya agak kencang.

“Ohh, kayak Fresti, Gud dey, Panta?”

“Nah, iya apalah itu namanya.”

Heran juga gue. Apa masalahnya dengan minuman berasa kayak gitu sampe bisa bikin diabetes?!

“Makanya Yoga, kamu jangan suka minum-minuman itu!”

“Gapapa kali, Mah. Aer putih mah tawar. Enggak enak,” jawab gue sambil hendak berlalu, menuju kamar untuk mengenakan pakaian.

“HEH!!” nyokap menghantamkan ulekan ke terasi dengan kencang, sampai mereka lompat berceceran ke lantai.

Gue kaget dan langsung menghentikan langkah. “I-iya, Mah.”

“SINI DULU!!” perintah nyokap sambil menggerakan dagu, pertanda gue harus menghampirinya.

“A-aku mau ke kamer, Mah. Ini dingin cuma pake handuk doang.” Berdiri hanya mengenakan handuk ternyata bikin gemetaran. Angin sepoy-sepoy masuk lewat bawah handuk, menjalar ke atas melewati benda pusaka yang menggantung bebas tanpa handle, endingnya masuk ke perut.

“Pokoknya... kamu... jangan... MINUM MINUMAN BOTOL!!!” tegas nyokap sambil membanting ulekan ke lantai. Sekarang nyokap ngulek di lantai.
Continue Reading...

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter