Tahun 2017 akan
berakhir dalam hitungan jam. Semuanya terasa singkat. Padahal baru tahun lalu
gue melewati pergantian tahun 2016 ke 2017 di Pulau Nias. Kini gue akan
mengalami pergantian tahun lagi. Namun di Pulau Jawa.
Gue kembali mengingat
apa saja yang gue lakukan sepanjang tahun 2017 ini. Kayaknya gue masih banyak
dosa di tahun ini. Masih banyak kesalahan yang perlu gue perbaiki di tahun
kedepan. Masih suka kepancing untuk ngomongin temen di belakang. Masih suka
bikin nyokap cemberut bete. Dan masih belum konsisten ibadah dengan baik.
Gue juga belum
merasa ada prestasi apa-apa yang bisa gue banggakan. Belum bisa tampil di tivi
jadi peserta Dangdut Academy.
Namun ada satu
capaian yang membuat gue bersukur. Karna capaian ini digapai tidak mudah bagi
gue pribadi. Gue beruntung bisa ikut dalam program SM-3T. Kepanjangannya:
Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Ini adalah
program pemerintah yang menugaskan guru untuk mengajar di daerah terpencil di
pelosok Indonesia. Sungguh program yang kece!
Tiap tahun
program ini banyak peminatnya. Tembus sampai lebih dari 90.000 pelamar. Namun
kuota yang disediakan enggak sampai sebanyak itu. Cuma 1/3-nya. Dan gue
beruntung bisa termasuk dalam 1/3 bagian itu.
Dengan program
ini, mata gue terbuka. Pendidikan di Indonesia sungguh timpang banget. Bertugas
di Nias Selatan, gue menemui siswa yang masih belum bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari
dia berkomunikasi pakai bahasa daerah. Gue jadi bingung sendiri ngajar ni
bocah. Sampai-sampai gue meminta salah seorang temannya yang bisa berbahasa
Indonesia untuk menjadi penerjemah gue.
Di sisi lain gue
heran, tiap kurun waktu tertentu, pemeintah merubah kurikulum. Padahal
masalah mendasar pendidikan Indonesia adalah
di pemerataannya. Enggak ada yang salah menurut gue dengan kurikulum pendidikan
Indonesia. Kurikulum kita udah kece banget. Yang salah justru ketimpangan
pendidikan. Gue berharap pemerintah menguras energi berpikir mereka untuk
meratakan pendidikan, bukan untuk merubah-ubah kurikulum pendidikan. Walaupun
menurut gue kurikulum juga penting banget.
Dan masalah yang
dihadapi siswa di pelosok juga mengenai insfrastruktur. Kondisi jalan di tempat
gue mengajar: desa Boronadu, Nias Selatan, bener-bener kacau. Jalan penghubung
antar desa cuma terbuat dari batu kali yang di susun. Iya beneran. Batu kali. Batu
gede-gede yang biasa dipake untuk pondasi bangunan. Kebayang enggak tuh naik
motor lewat jalan yang tersusun dari batu kali gede begitu. Udah gitu jalannya
naik turun curam, khas perbukitan. Jalanan kayak gitu sungguh menguras fisik. Menghancurkan
badan. Bahkan Valentino Rossi kalo tiap hari bawa motor di jalan begitu bisa
turun berok tuh gue yakin.