Gue selalu ngiri
dengan orang-orang yang dididik keras oleh orang tuanya, mereka yang terpaksa
harus bangun pagi, membantu orang tua kerja. Karna dengan didikan keras seperti
itu, mereka bisa belajar hidup disiplin sedari kecil. Dengan dididik keras,
mereka bisa memiliki mental baja untuk hidup di kehidupan yang keras ketika
dewasa nanti.
Sudah banyak
contoh orang sukses, yang ketika kecil dididik dengan keras. Yang memulai
kehidupan dari kerja keras. Contohnya mas Alit yang dididik disiplin oleh eyangnya.
Tiap hari harus bangun pagi membantu eyang menimba air di sawah, harus usaha
dulu sebelum dikasih uang jajan, seperti ngangon kambing. Kalo enggak seperti
itu, mas Alit bakal kena marah eyang, enggak dapet jajan, terancam kelaparan di
sekolah.
Bukan cuma itu,
seorang yang gue lupa namanya, ketika kecil di paksa sekolah oleh bapaknya,
padahal di sekolahnya ada anak nakal yang mengancam keselamatan jiwanya. Dan ketika
besar, dia menjadi sukses dengan memiliki sekolah madrasah sendiri.
Gue jadi kepikiran,
seandainya gue di didik seperti itu oleh orang tua.
Makin kesini, pikiran
gue semakin terbuka bahwa gue butuh paksaan, butuh dikerasin, butuh
didisiplinin biar bisa menjalani hidup lebih baik. Pengen rasanya dipaksa untuk
belajar atau dipaksa supaya giat bekerja membantu orang tua. Tapi itu enggak gue
dapatkan.
Ibu cuma
ngelitikin kaki gue tiap bangunin gue untuk solat subuh. Gue cukup
nendang-nendang unyu saat dikelitikin, terus ibu berlalu gitu ajah. Mungkin kalo
ibu bersikap keras, ibu bakal mengguyur gue dengan air dari ember supaya
bangun. Lalu gue disuruh jemur sendiri kasur yang basah. Disiplin abis! Entah itu
layak diebut disiplin, atau malah sadis. Yang jelas dengan di guyur air seperti
itu, pasti gue akan rajin bangun pagi.
Ibu juga cuma
menyuruh, “Yoga, lagi sibuk enggak, mau nyapuin halaman?”
Ibu enggak memaksa
gue untuk nyapu. Akhirnya gue enggak merasa terpaksa. Jadi gue enggak mau
menyapu halaman. Coba kalo ibu memaksa gue dengan bilang, “ Yoga, sapu halaman
cepet!” sambil mengacung-ngacungkan sapu lidi, pasti gue akan menyapu halaman
duluan tanpa disuruh.
Gue pengen
diperlakuakn dengan keras, supaya gue enggak males-malesan, enggak lembek. Supaya
bisa jadi orang disiplin dan sukses dikemudain hari.
Gue coba merenung,
apakah yang gue pengenin ini sudah sesuai kaidah apa belum?
Mungkin di luar
sana, bagi mereka yang diperlakukan keras oleh orang tuanya pengin diberlakukan
dengan lemah lembut oleh orang tuanya. Pengen merasakan indahnya di kasihi
dengan lembut. Masak sih gue malah minta pengen di perlakukan keras. Benar-benar
enggak tahu diuntung.
Gue jadi berpikir,
mereka yang diperlakukan keras memang enggak punya pilihan, sehingga mereka
bisa disiplin. Kalo mereka enggak nurutin kata orang tuanya, pasti mereka kena
marah. Jadi mereka enggak punya pilihan untuk menolak. Secara enggak langsung,
yang membuat mereka disiplin itu orang tuanya bukan mereka sendiri.
Coba bandingkan dengan gue. Gue masih punya pilihan
tiap kali disuruh orang tua. Ibu enggak memaksa gue bangun pagi. Jadi kalo ibu ngebangunin
gue pagi-pagi, gue masih punya pilihan untuk menolak bangun, dan meneruskan
tidur. Ibu juga enggak keras menyuruh gue kuliah atau sekolah, jadi gue masih
punya pilihan buat bermalas-malasan.
Dari semua itu,
gue sadar, yang gue perlukan cuma satu: menentukan pilihan.
Yang gue perlu
lakukan adalah memilih pilihan yang benar. Gue harus memilih untuk bangun pagi,
sekalipun gue punya pilihan buruk, yakni bangun siang. Gue cuma butuh untuk
memilih rajin kuliah, sekalipun gue punya pilihan untuk males ngampus. Gue harus
memilih giat bekerja sekalipun gue punya pilihan untuk males bekerja. Gue harus
memilih giat beribadah, sekalipun gue punya pilihan untuk males ibadah.
Dengan memilih
pilihan yang baik ketimbang pilihan yang buruk, gue sadar, gue berusaha menjadi
disiplin dengan usaha gue sendiri. Yang menjadikan gue disiplin adalah gue
sendiri, bukan orang tua. Iyah, gue sadar, justru orang seperti gue, yang punya
dua pilihan ini, lebih hebat jika memilih pilihan yang baik, ketimbang mereka
yang rajin karna enggak punya pilihan lain.
Gue pn tersadar,
gue punya kesempatan untuk menjadi hebat dikemudian hari, asalkan gue memilih
pilihan yang baik, ketimbang pilihan buruk dari pilhan-pilhan yang ada.
Gue enggak perlu
lagi menginginkan dididik keras, dipaksa, atau diancam. Gue yakin bisa memilih
pilihan yang baik, disaat gue punya pilihan yang buruk. Dan menurut gue itu
lebih hebat, ketimbang mereka yang berbuat baik karna enggak punya pilihan
untuk berbuat buruk.
No comments:
Post a Comment