Aku terus mengayuh sepedaku dengan
cepat. Ini tidak mudah. Keadaan jalanan yang padat membuatku harus sigap
meliak-liuk diantara kendaraan yang merayap. Seperti biasa, lalu lintas Jakarta
tidak pernah lengang. Aku menoleh ke belakang, polisi itu masih mengejarku
dengan sepeda motornya. Jika aku terus jalan lurus seperti ini, pasti dia
dengan mudah menangkapku. Kecepatan sepeda balapku tak sebanding dengan kecepatan motor polisi itu.
Lampu lalu lintas menyala merah
tepat di persimpangan di depanku. Melihat sign “Kiri Jalan Terus,” aku memilih
menikung ke kiri agar tidak terjebak kendaraan kendaraan yang mengantri
menunggu lampu berubah berwarna hijau. Dengan pengalamanku bersepeda lebih dari
lima tahun, dengan mudahnya aku menikung dengan kecepatan tinggi. Sambil
membenarkan posisi helm sepeda yang ku kenakan, aku kembali mempercepat kayuhan
sepedaku. Sesaat setelahnya, pandanganku kembali ku lemparkan ke belakang,
polisi tersebut baru keluar dari tikungan. Dia terlihat kesulitan dengan sepeda
motor bertenaga 1000 cc-nya yang harus menikung dengan cepat di tikungan yang
dipadati kendaraan terjebak lampu merah. Hampir saja polisi itu menabrak tukang
batagor yang sedang berjualan di bahu jalan. Ia nampak tertinggal jauh di
belakangku.
“Pengendara sepeda Polygon hitam.
Berhenti!” teriak polisi tersebut.
Aku tak menoleh kebelakang. Dari keras
suara speakernya sudah menandakan ia tidak lagi berjarak jauh dariku. Dia semakin
dekat. Aku harus kembali berbelok untuk menjauhkan jarakku darinya. Namun
sepertinya ini akan menjadi sulit. Jalan yang ku lalui ini terlalu panjang. Sama
sekali tidak ada tikungan dalam jarak yang dekat. Aku melihat persimpangan yang
masih jauh di depan sana. Kuperhitungkan jaraknya sekitar 700 meter.
Aku menoleh kebelakang. Kini jarak
polisi itu sudah sangat dekat, sekitar 100 meter. Sayup-sayup suara sirine-nya
makin terdengar keras. Aku bisa membayangkan jika dia mampu mengejar
kecepatanku, dia akan memepetku dan membuatku tersungkur.
Kembali ku sapu pandanganku ke
depan. Ada sebuah truk peti kemas tepat di depanku. Lajunya amat lambat. Aku harus
menyalipnya. Aku mencoba mengambil jalur kanan. Sial. Terlalu ramai kendaraan. Aku
kesulitan mendahuluinya.
Sore hari di Priok adalah waktu
terpadat. Truk-truk peti kemas hilir mudik memadati jalan.
Aku nekad mengambil jalur kiri yang
sangat sempit. Jarak badan truk dengan trotoar di sebelah kiriku sangat dekat. Aku
seolah terhimpit antara truk di sebelah kananku dan trotoar di sebelah kiriku. Aku
terus mempercepat kayuhan sepedaku. Namun sial. Di depan sana ada sebuah sedan
menepi. Ia menutupi jalanku. Aku tidak biaa menambah kecepatan lagi. Truk sialan
ini juga makin cepat melaju dan memepetku. Aku tidak akan berhasil.
Tidak ada pilhan lain, terpaksa aku
mengambil trotoar.
“Woy monyet! Lo mau nabrak gua?!”
seorang pejalan kaki memakiku karna hampir saja kuserempet.
Suasana trotar amat ramai oleh
pejalan kaki. Mereka melakukan banyak aktifitas di sore ini. Sial. Kenapa di
saat genting seperti ini, ada saja yang menhalangiku.
Seorang kakek berjalan di tengah
trotoar. Ia berjalan dengan lambat dan tertatih-tatih. Aku berteriak, “Paak…
minggir! Awas saya tabrakk!!”
Kakek itu tetap tak bergeming.
Aku terus melaju dengan kecepatan
tinggi.
“Paak… Awass!!!” terikaku makin
kencang.
Orang sekitar melihat ke dua arah:
kepadaku dan kepada sang kakek.
Aku melihat ke belakang, tapi aku
tidak melihat keberadaan polisi itu. Namun, bunyi sirine tetap terdengar
nyaring.
Aku kembali melihat ke depan di
saat sang kakek sudah tepat berada di depanku. Aku terkejut. Spontan aku
berteriak sambil memejamkan mata, “AAAAAAHHHHHH...”
Setelahnya aku membuka mata. Dimana kakek itu? Ucapku membatin.
Aku melihat ke belakang. Sang kakek
jatuh tersungkur di pinggri trotoar sambil di dekap oleh seorang perempuan. Sepertinya
perempuan itu menarik sang kakek tepat sesaat sebelum aku menabraknya. Aku sempat
memerhatikannya sekilas. Ia gadis muda, seumuran denganku. Rambutnya lurus
panjang se punggung. Kulitnya kuning langsat. Ia mengenakan celana jeans dengan
robekan di lutut dan pahanya. Sebuah sweater cokelat membalut kaus hitam polos
yang ia kenakan. Ransel berwarna hitam ia kenakan di punggung. Cantik. Aku sempat
berdebar saat melihat ke dalam matanya dari jauh sini. Tatapan matanya begitu
tajam namun tak terbaca. Dari sorot matanya aku tak bisa menyimpulkan apakah
dia marah, terkejut, atau ketakutan.
Dari jauh aku melambaikan tangan “viss”
yang menunjukan, “maaf.” Sesaat ketika ku hendak memalingkan pandang ke depan,
aku melihat sang polisi mengambil jalur kanan, menyalip diantara kendaraan yang
datang dari arah berlawanannnya. Ia nampak melambat karna begitu padatnya
kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Sekalipun sirine sudah dibunyikan,
masih saja polisi itu kesulitan karna pengendara enggan untuk menyingkir. Ya beginilah
kelakuan berkendara orang indonesia. Sirine, lampu lalulintas, zebra cross
mereka lalaikan keberadaannya.
Ini kesempatanku untuk menjauh.
Persimpangan sudah semakin dekat. Aku
akan menikung ke kiri. SIAL!!
Sebuah truk berhenti sambil
menikung ke kiri. Nampaknya sang supir salah mengambil perhitungan. Truk tersebut
terlalu rapat dengan trotoar. Jadi jika dipaksakan berbelok, ban belakangnya
akan mentok terhalang trotoar. Nasib mujur jika ban belakang truk tersebut kuat
menaiki trotoar. Namun dilihat dari muatannya yang banyak, truk itu tidak mampu
jika ban belakangnya terhalang trotoar.
Sialnya truk itu menghalangi
jalurku untuk berbelok ke kiri. Aku memutusakn untuk mengambil jalan lurus.
Sepedaku berbelok dari trotoar, ke
tengah ruas jalan, tepat di garis putus-putus pemisah jalur. Ku percepat laju
speda ini. Lampu lalu lintas berbuah hijau, aku pun mempercepat laju sepeda. Sebuah
mobil SUV di depanku melaju melebar ke tengah. Dengan cepat aku mengerem sekuat
tenaga. Sial. SUV itu memotong jalur ku. Aku berusaha mendahulinya. Aku memiringkan
kepala ke kanan, melihat apakah ada kendaraan dari arah berlawanan yang datang.
Ada sepeda motor, dan agak jauh dibelakangnya sebuah truk peti kemas tanpa
muatan. Aku mengambil keputusan untuk menyalip SUV tersebut. Sepedaku melaju di jalur kanan. Motor dari
arah berlawananku semakin dekat. Aku berhasil melewati SUV tersebut, dan nyaris
bersenggolan dengan motor.
“POANGGG,” klakson truk tedengar
nyaring. Aku segera membelokan sepeda ke sisi kriri. Hampir saja aku disambar
truk peti kemas yang datang dari arah berlawanan.
Lampu lalu lintas sudah berubah
kuning. Aku harus bisa melewati lampu itu. Kalau sampai lampu berubah merah. Aku
akan terjebak di antrian kendaraan ini dan sudah dipastikan tamat riwayatku.
“Segera berhenti pengendara sepeda Polygon
hitam!” teriak polisi yang mengejarku melalui pengeras suaranya.
Aku tak memikirkan sudah berapa
dekat jaraknya denganku. Satu-satunya yang kupikirkan adalah aku harus melewati
persimpangan itu sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi merah.
Jarakku semakin dekat dengan
persimpangan, hanya tinggal beberapa meter saja. Tepat ketika ban depan spedaku
menyentuh zebra cross, lampu berubah merah. Namun aku tetap melaju.
Tepat di tengah persimpangan, aku
menoleh kekiri. Aku melihat truk yang salah belok tadi sedang mencoba mundur. Aku
memalingkan pandang ke kanan, sebuah truk peti kemas berwarna hijau mulai
melaju. Lampu lalu lintas di jalurnya sudah menyala hijau rupanya. Nampak lampu
sein sebelah kirinya menyala, menandakan truk itu akan belok ke kiri.
Aku terus melaju sambil menoleh ke
belakang. Sang polisi makin memacu kecepatan motornya. Ia mengambil jalur
kanan. Sirine keras mengiringi laju motornya.
“Polygon hitam cepat berhenti!”
Di kecepatan yang tinggi itu, ia
dikagetkkan dengan truk petikemas hijau tadi yang berbelok mengarah kepadanya. Ia
tak mampu menghindar. Truk pun tak mampu berhenti mendadak. Bahkan untuk
membunyikan klakson saja truk itu tidak sempat. Semua terjadi begitu cepat. Tidak
bisa dihindari lagi. Akhirnya polisi tersebut tergilas oleh roda depan truk. Sementara
itu sepeda motornya masuk ke kolong truk.
Aku terkejut melihat kejadian itu. Orang
sekitar segera berlarian menghampiri truk dan polisi tersebut. Mungkin selanjutnya
supir truk akan dihajar habis-habisan. Orang-orang akan main hakim sendiri.
Aku berhenti mengayuh sepeda. Aku biarkan
sepeda berjalan tanpa kayuhan sambil pandanganku tetap ke belakang, tak beralih
memerhatikan kerumunan orang yang sudah mengitari truk. Salah seorang warga
membuka pintu truk dengan paksa. Dua orang lainnya memukul-mukul bagian depan
truk. Beberapa lainnya lagi berusaha mengevakuasi sang polisi.
Memilukan memang kejadian di depan
mataku ini. Namun setidaknya aku sudah terbebas dari kejarannya. Kembali ku
arahkan pandang ke depan.
Belum juga aku sempat melihat jelas
ke depan, tiba-tiba “BUAKK!”
Aku tak tahu pasti apa yang
terjadi. Yang jelas tubuhku terpental keras ke udara. Aku melihat langit,
kendaraan ramai di jalan, semua berputar-putar tak menentu. Aku merasakan
pusing yang amat sangat. Setelah puas berputar-putar di udara, tubuhku
terhempas ke bawah. Aku tak tahu pada apa tubuhku mendarat. Kini tubuhku
terlentang kaku. Aku hanya mampu menatap langit tanpa bisa menggerakkan
badanku. Perlahan semuanya menjadi gelap.
To be continued....
No comments:
Post a Comment