SM-3T.
Ada yang bilang itu singkatan dari Sarjana
Menikah Tiga Tahun Lagi. Namun arti yang sebenarnya adalah Sarjana Mengajar di
daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Ini adalah program mengajar ke
pelosok. Gue ikutan program ini.
Rasanya bercampur aduk saat tahu bahwa gue
lolos mengikuti program SM-3T. Perpaduan antara perasaan senang, sedih, dan
kangen gebetan.
Senang rasanya bisa ikut membantu mengajar
anak-anak di pelosok. Yang mana dalam pikiran gue mereka anak-anak yang tidak
mendapat pendidikan sebaik di Jawa. Mereka enggak punya buku untuk belajar,
enggak punya guru yang mengajar dengan profesuonal, enggak punya handphone
untuk stalking facebook gebetan. Kasihan! Gue senang bisa membantu mereka yang
dalam keadaan menyedihkn itu. Namun gue sedih karna harus meninggakan keluarga.
Ya walau gue hanya ditugaskan satu tahun, tapi rasanya berat banget ninggalin
keluarga selama itu. Dan terakhir, kangen gebetan karna emang udah lama banget
aja gue memendam perasaan ke dia. Oke kita skip yang terakhir itu yah.
Sebelum pemberangkatan, keluarga melepas
gue. Untungnya mereka enggak sampai menangis guling-guling dan lebay seperti di
sinetron saat seorang hendak melepas anaknya merantau. Nyokap dan bokap cukup
mengecup gue, lalu memberikan motivasi sekaligus doa. Itu adalah pertemuan yang
sekejap dengan keluarga sebelum gue berangkat ke pelosok. Padahal gue pengennya
menghabiskn waktu lebih lama gitu sebelum berangkat. Kan pengen banget rasanya
sebelum gue berangkat gue muas-muasin manja ke nyokap. Tapi sayang, kesempatan
berkumpul dengan keluarga palingan hanya hitungan jam.
Keluarga besar pun sudah gue kabari
melalui SMS. Iyah, Cuma bisa lewat SMS karna gue enggak punya banyak pulsa. Gue
hanyalah kaum fakir pulsa dan fakir kuota. Hiks!
Satu-persatu om, tante, uwa, kakak sepupu
membalas SMS gue. Ada juga yang menelfon gue. Mereka mendoakan gue, memberi
kalimat semangat, sampai menyampaikan rasa sedih karna gue berangkat jauuh.
Gue ditempatkan di Nias Selatan. Pesawat berangkat
dari Sukarnohatta kemudian transit di Kualanamu, Medan, sebelum akhirnya menuju
Nias melalui Bhinaka.
Handphone gue tiba-tiba berdering saat gue
sedang transit di Kualanamu, Medan.
“Wa Alit is calling,” tulisan yang tertera
di layar handphone gue.
“Halo, assalamualaikum, Wa?” ucap gue
sesaat sesudah mengangkat telfon.
“Yoga, sudah dimana?” di sebrang sana Wa
Alit bertanya.
“Yoga sedang transit di Kualanamu, Medan,
Wa,” jawab gue. Lalu gue meneruskan, “Yoga pamit ya, Wa. Doain Yoga ya Wa.”
“Iya, Nak,” ucap beliau. Suaranya sedikit
gemetar.
“...”
“Uwa sedih,” ucapnya. Kini makin jelas
suara beliau gemetar, terisak. Dengan suara terisak, beliau melanjutkan, “Semoga
sukses ya, Nak di sana... Baik-baik di sana... Jaga kesehatan!”
“...” entah kenapa mendadak mata gue
terasa hangat. Pandangan gue sedikit buram. Ujung mata gue terasa basah. “I...”
gue hendak bicara tapi suara gue mendadak gemetar. Sulit untuk bicara dengan
tenang. Gue pun diam sesaat. Gue enggak mau cemen terdengar nangis di telfon.
Setelah agak lama, gue bisa tenang, “Iya, Wa. Insyaallah Yoga akan sehat-sehat
di sini.”
Tak berapa lama percakapan di telfon pun
selesai. Suara uwa yang gemetar di ujung telfon sana semoga membuat gue terus
kuat, tidak membuat gue loyo dan cemen.
Kini sudah satu bulan gue berada di Nias.
Dugaan gue memang benar. Anak-anak di sini enggak punya buku paket untuk
belajar, guru di sini juga tidak seprofesional guru di pusat. Ini membuat gue
semangat untuk mengajar. Gue pengen mereka bisa merasakan pembelajaran yang
layak seperti halnya di Jakarta. Harapan gue selama setahun di sini, gue bisa
mengajar mereka dengan maksimal, dan keluarga di rumah selalu sehat dan
baik-baik aja.
Aamiin.
Well, this is the end of the post.
Subscribe me and share the inspiration!
No comments:
Post a Comment