“Permisi, Bu, saya dari
Unsoed,” Kata Gina sambil senyum ramah. Lalu dia melanjutkan, “Saya mau
obesrvasi wawancara yang punya pabrik bawang ini, Bu, buat skripsi,“ kali ini
senyumnya makin ramah dan lebar. Sedangkan gue yang ngintilin dia di belakang
juga ikutan senyum lebar. Selebar senyum para caleg di spanduk kampanye.
“Oh, iya bisa, Mba. Tapi
sekarang lagi istirahat, nih,” kata karyawan pabrik bawang tersebut sambil
melirik jam dinding yang menunjukan jam sebelas. “Nanti dateng lagi jam dua
yah,” ucapnya.
“Oh, iya, Bu,” jawab Gina,
lagi-lagi dengan senyum ramah. Tanpa ngomong apa-apa lagi, karyawan itu
langsung masuk kembali ke kantor. Sedangkan gue dan Gina yang saat itu berdiri
di depan pintu kantor hanya diam terpaku, tanpa dipersilahkan duduk dan
menunggu di dalam kantor. Kampret!
Akhirnya gue dan Gina cuma
bisa nunggu sambil duduk-duduk unyu di teras kantor. Kami persis seperti
sepasang gembel yang kehilangan arah. Benar-benar terlantar. Sedih!
Sambil menunggu, Gina megeluarkan
hapenya. Dia asik sms-an. Enggak mau kalah, gue pun mengeluarkan hape, lalu SMS
pacar.
“Medh chiank chayank qoeh,”
ketik gue di SMS. Tanpa menunggu hasil quik
count pemilu, langsung gue kirim SMS itu. Bukannya terkirim, SMS itu malah
gagal terkirim. Gue kirim lagi, gagal lagi. Kirim lagi, gagal lagi. Setelah
lama, gue baru sadar, gue enggak punya pulsa. Nyesek!
Sambil menunggu jam dua, gue
dan Gina melakukan berbagai kegiatan positif, seperti ngobrol, solat, dan main
tak umpet! Setelah berjuang nunggu selama tiga jam, akhirnya jam dua tiba juga.
Kami langsung mendatangi karyawan tadi,
“Ada perlu apa ya, Mba?” kata
karyawan tadi. Gue tercengang. Aneh banget. Kok
dia lupa sama kita yang mau wawancara tadi, gumam gue dalam hati. Perasaan
gue enggak enak nih.
“Saya mau wawancara, Bu, sama
pemilik pabrik bawang ini,” ucap Gina santun sambil mengeluarkan buku catatan
dari ranselnya.
Setelah itu, kami dipersilahkan masuk, dan
duduk di dalam. Akhirnya dia punya hati
juga untuk mempersilahkan gue dan Gina masuk, gumam gue.
“Mau wawancara apa, Mbak? Ke
saya ajah sini.”
“Ini, Bu, mau wawancara
seputar pabrik bawang goreng ini. Kalo bisa sih sama pemiliknya, Bu,” kata
gina.
“Ehm... gimana yah. Hari ini yang
punyanya lagi enggak ada,” ucap karyawan itu sambil ngorek-ngorek gigi pake
kuku.
Deng!
“Ta-tapi tadi...”
“Dateng aja lagi besok!” belum
juga gue selesai ngomong, tu karyawan
langusng motong dan nyuruh dateng lagi besok.
Gue dan Gina hanya terpaku.
Ini nyebelin banget. Tadi dia bilang kita bisa wawancara yang punya pabrik,
tapi harus nunggu dulu sampe jam dua. Nah, setelah kita lemas menunggu sampe
jam dua, eh dia malah baru bilang kalo yang punya pabrik tuh enggak dateng hari
itu. Kampret! Kenapa enggak bilang tadi aja sih biar kita enggak mesti nunggu
cape selama tiga jam. Kampret dia! Saking kampretnya, pengen banget gue selipin
irisan bawang ke kelopak matanya!
Akhirnya kami pun pulang dalam
keadaan lemas tak berdaya.
***
Itu tadi salah satu cerita ternyesek
saat gue anter Gina untuk observasi data buat skripsinya. Gina adalah sepupu
gue. Iyah, dia satu tahun lebih tua dari gue. Walaupun dia lebih tua dari gue,
tapi gue memanggilnya, “Adek.” Itu dikarenakan memang wajah gue lebih tua
darinya.
Mari kita lihat gambar Gina
dibawah ini:
Nah, bisa dilihat kan wajahnya
yang sangat muda seperti gadis yang baru saja memasuki masa akhil baligh. Lalu
mari kita lihat wajah gue dibawah ini:
Nah, jelas sekali terlihat kan wajah
gue yang tua menyerupai om-om stres habis kalah nyaleg! Iyah, memang wajah gue
boros usia.
Gina ini sedang menyelesaikan
skripsinya. Karna itu dia butuh data-data penunjang dalam pembuatan skripsinya.
Dia kuliah di jurusan pertanian, maka observasinya pun seputar pertanian,
seperti dinas pertanian, badan penyuluhan daerah, sampai pengusaha-pengusaha
pangan seperti pabrik bawang goreng kampret tadi.
Sebelum gagal observasi ke
pabrik bawang tadi kami juga menghadapi rentetan halangan dan rintangan saat
observasi ke tempat-tempat lainnya. Seperti saat kami obsrvasi ke dinas pertanian
setempat.
Sebelum datang ke dinas
pertanian, Gina sudah janjian dengan petugas di sana. Gina juga sudah
menyerahkan form observasi ke petugas itu di hari sebelumnya. Jadi, sekenario
awal sih begitu datang ke dinas, terus kami bertemu dengan petugas, lalu ambil
form observasi, kemudian selesai dan lanjut observasi ke tempat lain deh.
Namun, kenyataannya yang terjadi enggak seindah dalam sekenario itu.
Dengan elegan gue parkirkan
motor supra gue di halaman parkir dinas pertanian. Baru saja gue dan Gina turun
dari motor, Gina langsung mendapat SMS dari petugas itu. Lalu Gina bilang,
“Petugasnya lagi keluar, Ga.”
Ah sial! Itu artinya kami harus
menunggu dia. Terus terang, gue paling sebal dengan yang namanya menunggu. Karna
menunggu itu capek. Apalagi menunggu kepastian perceraian Farhat Abas dengan
Nia Daniati.
Akhirnya kami mencoba masuk ke
dalam. Lalu kami menuju ruangan Pak Very, nama petugas tersebut. Sesampai di
depan ruangannya, Gina mengintip ke dalam lewat pintu kaca. Dia tercengang,
ternyata Pak Very ada di dalam.
“Ih, itu ada di dalem
orangnya, Ga,” kata Gina sambil nyengir enggak percaya.
“Masa sih?” kata gue. Lalu
dengan sok, gue bilang, “Ketok ajah pintunya, terus masuk! A-aku nunggu di luar
ajah ya.” Gue mundur perlahan.
Awalnya Gina ragu-ragu untuk
masuk. Dia maju untuk masuk, terus mundur lagi. Sesekali dia buka hape.
Dari belakang, gue bilang, “Udah,
buruan masuk!”
Gina cuma menanggapi dengan
nyengir lebar. Dan akhirnya dia masuk ke ruangan Pak Very.
Entah kenapa setelah dia
masuk, gue jadi pengen ikutan masuk juga. Akhirnya pun gue ngintilin Gina masuk
ke dalam.
Dengan raut wajah yang tampak
kaget, Pak Very bilang, “Eh, eneng. Ko ada disini? Inih saya tadi baru aja mau
ke luar.” Katanya sih dia baru pengen ke luar. Tapi setelah gue liat, di
mejanya tampak banyak tumpukan kertas, terus dia juga keliatan lagi sibuk
ngerjain ini-itu. Hem, “lagi di luar” itu pasti cuma trik dia aja agar enggak
diganggu. Kampret!
“Hehe, iya, Pak. Tadi enggak
sengaja liat bapa,” jawab Gina.
Dengan kikuk Pak Very cuma
bilang, “Ini, neng, saya belum sempet ngisi form observasinya.” Nah ketahuan.
Ternyata trik “lagi di luar” bukan cuma menandakan dia enggak mau diganggu,
tapi juga ternyata emang dia belum ngisi form observasi Gina yang udah Gina serahin
ke dia di hari sebelumnya. Kampret!
Untung aja Gina enggak cuma
ngasih form observasi ke dia aja. Untungya Gina juga udah menyerahkan form
observasi ke petugas lainnya. Yaudah deh, walaupun
Pak-Very-yang-katanya-lagi-di-luar-itu belum ngisi form, tapi petugas lainnya
udah ngisi. Sip, akhirnya kita pergi ketempat lain setelahnya.
Tujuan kami selanjutnya adalah
pabrik minuman jeruk nipis gitu. Kali ini Gina belum janjian dengan pemiliknya
untuk wawancara. Jadi kami sepontanitas aja dateng kesana, terus wawancara,
setelah selesai kami beranjak ke tempat lainnya deh.
Setelah menempuh jarak yang
lumayan jauh, akhirnya kami tiba di pabrik minuman jeruk nipis. Pabriknya
enggak besar-besar banget. Sepertinya pabrik ini skalanya usaha rumahan. Memang
sih, minuman jeruk nipis ini didstribusikan untuk daerah sekitar ajah.
Kami pun langsung menemui
karyawan dari pabrik itu.
“Bu, permisi, saya mahasiswa
dari Unsoed,” kata Gina.
“Oh, iya Neng. Ada perlu apa?”
jawab ramah dari karyawannya.
“Mau wawancara seputar minuman
jeruk nipis ini, Bu, sama pemiliknya.”
“Oh, bapaknya lagi enggak ada.
Lagi jadi panitia Panwaslu.”
Ternyata pemiliknya lagi
enggak ada di tempat. Dia sedang menjadi panitia pemilu. Huft tapi, sukurlah
dia cuma jadi panitia pemilu, bukan jadi caleg pemilunya. Takutnya kalo kalah
nyaleg, terus gila deh. Hih!
Kalo mau wawancara dengan
pemiliknya, katanya kita harus menunggu. Nunggu sampe pemilu selesai. Waw, kami
tercengang. Lama banget kalo gitu. Ini bukan kampret lagi, tapi lebih-lebih
dari kampret!
Seketika mulai tercium aroma
kegagalan. Iyah, gagal wawancara dan gagal dapet informasi dari pabrik itu. Sepertinya
kami (lagi-lagi) bakal pulang dengan lemas tak berdaya.
Gue sudah berada di atas
motor, bersiap menyalakan motor. Sesaat sebelum Gina naik motor untuk gue
bonceng pulang, tiba-tiba keajaiban terjadi. Ada sebuah suara yang muncul dari
arah belakang gue. Bunyinya,
“Mbak, mau wawancara apa?”
bunyi suara itu. Secepat geludug, gue nengok ke belakang. Seketika gue melihat
sosok yang indah. Bentuknya seperti perempuan, tinggi semapan, wajahnya teduh,
hidungnya mancung, make up-nya enggak ketebelan. Ternyata itu adalah anak dari
empunya pabrik.
Gina yang sudah bersiap naik
motor, langsung berbalik badan lalu
bilang, “Ini wawancara seputar minuman jeruk mipis.”
“Untuk skripsi?”
Gina menjawab dengan anggukan
kepala dan senyum yang merekah.
“Datanya kuantitatif atau
kualitatif?” kata si anak si empunya pabrik itu. Sampai sini gue jadi bingung.
Apa itu kualitatif? Apa itu kuantitatif? Ah, entahlah!
Akhirnya, anak si empunya
pabrik itu pun bersedia untuk diwawancarai. Dia paham dengan seluk-beluk pabrik
minuman jeruk nipis tersebut. Dia sanggup untuk menjawab pertanyaan
bertubi-tubi seputar pabrik tersebut. Akhirnya ya Tuhan, kami enggak sia-sia
berangkat jauh ke pabrik jeruk nipis ini. Akhirnya kami enggak jadi pulang
dengan keadaan lemas tak berdaya. Anak empunya pabrik itu seperti penyelamat
kami dari kegagalan saat itu.
Wawancara pun berlangsung
lancar jaya. Dengan asyiknya, Gina melayangkan pertanyaan-pertanyaan pada
Mawar. Iya, sebut saja nama si empunya pabrik itu Mawar. Soalnya gue lupa
dengan namanya.
Mawar ini satu tahun lebih tua
dari Gina. Dia baru saja lulus tahun kemarin. Dia juga bersedia diwawancarai
untuk skripsi karna dia tahu betapa susahnya perjuangan menyusun skripsi. Dia
bisa mengerti penderitaan yang dipikul Gina saat itu. Iyah, Mawar memang sosok
yang pengertian. Selain pengertian, dia juga cantik, baik, udah gitu bapaknya
punya pabrik lagi. Bener-bener cocok nih kalo dijadikan... majikan.
Di situ bukan cuma ada gue,
Gina, dan Mawar. Di situ juga ada anak balita. Dia adiknya Mawar. Sementara
Gina dan Mawar lagi asik berwawancararia, gue coba bermain-main dengan adiknya
Mawar. Gue memang suka sama anak kecil. Terlebih adeknya Mawar unyu dan lucu.
Bikin gue gemes. Saking gemesnya, pengen banget gue menyusui dia di tempat.
Namun, untung itu enggak jadi. Karna gue baru inget, gue ini cowok, enggak
punya tetek.
Setelah setengah jam, akhirnya
wawancara pun selesai. Wajah Gina jadi terlihat lega dan bahagia setelah
berhasil mewawancarai Mawar. Hari itu kami berhasil dan enggak pulang dengan
tangan hampa. Gue pribadi rasanya senang dan lega. Padahal itu bukan skripsi
gue, dan gue cuma nganterin doang.
Ternyata
capek banget nyusun skripsi. Capek batin dan fisik. Gumam gue saat duduk di emperan masjid bareng
Gina. Saat itu kami sedang istirahat untuk solat.
“Dek, tahun depan nanti aku
gimana ya garap skripsi, haduh!” kata gue ke Gina yang duduk di sebelah.
Sambil senyum, Gina cuma
bilang, “Hehe, jangan pikirin hal yang belum waktunya dipikirin.”
Hemph, ada benarnya juga Gina.
Iya, sebaiknya gue senggak perlu mikirin skripsi dulu. Gue memang belum waktunnya
mikirin skripsi. Mending gue fokus mikirin kuliah gue yang sekarang. Terlebih
sekarang gue lagi ada tugas magang di SD, gue juga bekerja jadi tutor Bahasa
Inggris di sebuah tempat les. Yup, gue sepertinya mesti fokus dulu ke hal-hal
tadi deh.
Gambar Gina (kanan) dan Mawar (kiri) sehabis wawancara |
em,,gimana ya bang,,,emang bener sih,,meskipun lebih muda.. tapi wujudnya lebih tua..maaf ya bang...saya cuma ingin mengatakan yang sebenarnya.......
ReplyDeleteEmang ngerjain skripsi gak cuma nguras otak tapi juga ngelatih kesabaran. Emang kampret banget petugas bawangnya, gue setuju banget kalo lo mau nyelipin irisan bawang dikelopak matanya, kalo bisa jangan dikelopak matanya aja, ga, tapi dibelahan pantatnya juga biar tahu gimana rasanya terombang-ambing menunggu 3 jam, pas udah menunggu malah beda lagi alasannya. Emang kampret banget.
ReplyDeletePetugas dinasnya juga gak kalah kampret!! Bilang di luar padahal di dalem. Mahasiswa emang harus banyak sabar dan selalu bilang aku rapopo.
Muka lo emang boros, makanya ganti yang 4 tak aja, lebih irit.
asli ngeselin banget itu karyawan pabrik bawang goreng. udah dibuat nunggu juga. gak tau apa menunggu itu menyiksa jiwa raga. -_-
ReplyDeletesetia banget lo ga, mau nemenin sepupu buat ngerjain tugas skripsinya, sehingga kesabaran lo ikut terkuras.
tapi itung-itung sebagai pengalaman ngerasain lika-likunya skripsi ya ga. jadi nanti lo udah tau apa aja yang mesti dilakukan, dan tau apa aja resiko yang bakalan lo hadapin.
rugi banget lo gak ingat namanya mawar, udah minta no hpnya belum. siapa tau ntar dia bersedia jadi majikan lo ga, jadi baby sitter adeknya. hehehe
ahh, muka mbak gina imut banget, jadi kepengen #eh..
ReplyDeletesumpah muka lo berbanding 25835 derajat banget bang. Miris gue, miriiiiiiiis banget bang :(
gue dulu juga skripsi tapi enggak sampai sesmenyedihkan itu..
ReplyDeletekasian Gina, udah susah nemuin narasumber dianterin orang tua lagi.. nggg, maksud gue orang bermuka tua..
perjuangan berkali-kali lipat dari biasanya emang harus dilakukan lebih niat lagi hari-hari biasanya..
eh.. salam buat gina, dari edotz herjunot... kapan2 mau diajak nikah gue katanya.
Lo gak tua kok,cuma overdosis muka aja....
ReplyDeleteBanyak orang yang bilang skripsi itu menakutkan,tp ah woles aja...toh masih ada setahun lagi gw hahaha
waduh, gimana nasib ane ya. skripsi uda mau didepan mata ;( , bkalan bergadang sampai 5 hari 6 malam. baca perjuangan adekmu.
ReplyDelete