“A..., tolong kupasin kelapa!”
teriak nyokap dari dapur. Gue adalah anak pertama dan gue adalah Orang Sunda. Itulah
mengapa nyokap memanggil gue, ‘A,’ yang berarti ‘kakak.’
Gue lagi asik gogoleran nonton FTV
di ruang tengah. Maklum, gue masih pengangguran, jadi kerjaan gue nonton FTV
untuk nyari inspirasi. Gue baru kerja part-time
ngajar di bimbel. Full-time-nya gue nganggur di rumah, nonton FTV.
“Iya, Mah. Sebentar, A’a lagi
nonton FTV dulu,” jawab gue kala itu.
“Cepetan! Mamah mau masak sayur
lodeh nih pake santen!” teriak nyokap gue lagi.
Ini yang ngeselin. Nyokap tuh
enggak toleransi banget sih. Gue lagi asik nonton FTV, eh malah disuruh ngupas
kelapa. Mana adegannya lagi seru lagi. Di TV nampak pemeran cowok lagi nembak
pemeran cewek, terus mereka pelukan. Adegan tersebut sungguh indah, beda banget
dengan realita yang mana kalo cowok nembak cewek bukannya pelukan, malah
digantung berminggu-minggu.
“I-iyah, sebentar, Mah. Nuggu
iklan, nih!” teriak gue ke nyokap.
Enggak ada teriak balasan dari
nyokap. Hening.
Asik, gue terusin nonton FTV.
Setelah cewek dan cowok itu pelukan, mereka tatap-tatapan. Wajah mereka makin
mendekat satu sama lain. Si cowok memiringkan kepala 20° ke kiri. Mata si cewek
terpejam. Bibir mereka berdekatan. Lalu mereka... gelap. Tiba-tiba TV gue
menjadi gelap.
“KUPAS KELAPA SEKARANG!” teriak
nyokap yang tiba-tiba ada di sebelah TV sambil memegang kabel TV yang sudah
copot dari saklarnya. “CEPET!” kata nyokap sambil memutar kabel TV seperti cowboy.
Gue langsung ngacir ngambil golok
untuk ngupas kelapa.
Karna takut ketinggalan adegan FTV
yang lagi seru itu, gue ngupas kelapa dengan kecepatan tinggi.
“Hiyat, ciat!!” teriak gue sambil
mengayunkan golok ke kelapa. Setelah terkelupas seluruhnya, gue mengeruk daging
kelapa untuk memisahkan dari batoknya.
Namun sayang seribu sayang, karna
gue melakukannya buru-buru dan cenderung sembronoh, golok yang tajemnya
melebihi perkataan dosen penguji sidang skripsi ini menggores ibu jari kiri gue.
“Ahhh... uhh” erang gue spontan karna kesakitan.
Jempol kiri gue luka. Kecil sih,
mungkin cuma sepanjang dua centimeter, namun darahnya ngucur enggak berhenti.
Darah gue megucur deras. Gue hanya
bisa terdiam terpaku melihatnya. Baru kali ini gue melihat darah ngucur sederas
ini dengan mata kepala sendiri. Selama ini gue hanya melihat darah di sinetron
ketika adegan pemeran utamanya bunuh diri dengan menyayat urat nadinya. Kini,
gue melihat darah ngucur di kehidupan nyata. Ini real life!
Warnanya merah tua. Bentuknya sangat
kental. Baunya amis. Darah gue setetes-demi setetes bercucuran ke tanah dengan
cepat. Lama kelamaan aliran darah itu berhenti dengan sendirinya dan menjadi
lengket kayak Betadine. Terdapat gumpalan darah di tempat lukanya. Gue inget,
ini adalah trombosit yang berfungsi sebagai penahan aliran darah saat pembuluh
darah pecah. Trombosit membentuk fiber yang mencegah darah mengalir
terus-terusan. Seinget gue sih gitu tentang pelajaran Biologi selama SMA dan
SMP.
Sesaat ketika golok itu menyayat
jempol gue, gue enggak merasakan sakit apa-apa. Malahan gue cuma bengong merhatiin
darah gue yang mengucur. Namun setelah agak lama, tepatnya saat darah mulai
membeku, barulah gue merasakan perih yang amat sangat.
Seminggu kemudian luka gue mulai
kering. Luka ini butuh waktu untuk sembuh. Selama luka ini masih basah, gue
jadi susah ngapa-ngapain. Tiap gue wudhu, ni luka selalu perih kebasahan. Saat gue
neken remot buat mindahin chanel TV, jempol gue senut-senutan. Tiap kali gue
cebok, jempol gue juga perih kebasahan. Hari-hari gue jadi enggak sempurna.
Setelah jempol benar-benar sembuh,
di sana ada bekas luka. Sebuah garis melintang horizontal di jempol gue. Warnanya
merah muda agak keungu-unguan, namun berwanra cokelat kehitaman di bagian
ujungnya. Jempol gue enggak bisa kembali seperti semula. Bekas luka ini bakalan
membekas selamanya. Ini menjadi pertanda bahwa jempol gue pernah terluka.
Setelah gue pikir, luka di ibu jari
ini enggak beda jauh yah dengan luka di hati.
Saat pertama disakiti, gue enggak merasakan
apapun, tapi setelah beberapa lama kemudian, baru lah terasa sakit luar biasa. Selama
luka di hati belum kering, gue juga jadi susah ngapa-ngapain. Gue mau makan, tapi
nasi jadi terasa hambar. Gue mau tidur, tapi hati masih panas dan gelisah
rasanya. Gue mau nonton FTV, tapi malah cuma bikin keingetan. Hari-hari gue
jadi enggak sempurna. Luka di hati juga butuh waktu untuk sembuh.
Dan ketika luka hati itu sudah
sembuh, akan ada bekas. Bentuk hati gue enggak sama lagi dengan sebelumnya. Bekas
luka itu akan menetap di sana selamanya. Ini menjadi pertanda bahwa hati gue
pernah terluka.
Ehm... barangkali... luka di hati
sama seperti luka di jari.
No comments:
Post a Comment