Bagi gue lebaran
kali ini adalah yang paling berat. Tahun ini gue harus ngerasain yang namanya
lebaran jauh dari orangtua. Jauh dari temen-temen ngaji. Jauh dari gebetan. Gue
enggak bisa pulang kampung dan menghabiskan momen lebaran bareng mereka. Ini
semua karna gue masih harus menjalani tugas mengajar di Nias Selatan sampai
bulan Agustus nanti sebagai guru SM-3T.
Sedih.
Bukan cuma gue
yang ngalamin nasib pilu begini. 54 guru SM-3T
Nias Selatan
lainnya pun merasakan hal yang sama sedihnya. Untungnya ada mereka, jadi gue
enggak sedih sendirian. Kami sedih berjamaah. Kami pun tinggal bersama-sama di
sebuah penginapan di pusat kota yang dekat dengan Masjid Agung Kota. Kami menghabiskan
waktu liburan sekolah dan menyambut Hari Raya Idulfitri di sini.
Sepulang salat Ied,
temen-temen gue sesama guru SM-3T sibuk menghubungi keluarga mereka di kampung
halaman. Mereka semua memulai vidio call dengan keluarganya. Satu-persatu dari
mereka nangis berguguran. Terharu saat mengucapkan maaf kepada kedua orang tua,
terharu mendengar kata rindu dari ibu nun jauh di sana, terharu mendengar getar
suara orang tua di sebrang telpon sana. Melihat ini gue jadi sedih. Bukan,
bukan ikut sedih karna melihat mereka menangis haru. Namun sedih karna mereka
semua videocall-an, sedangkan hape gue enggak bisa videocall kampret! Mereka
menggenggam hape di depan wajah dengan riang campur isak tangis. Head seet
tertempel gaul di kedua lobang kuping. Cuma gue sendiri yang nempelin handphone
di kuping, jongkok di pojokan karna minder.
Sedih... pake...
banget...
Puasa dan lebaran
di tanah rantau memang enggak gampang. Selama puasa ajah udah kerasa berat.
Yang biasanya gue dibangunin nyokap untuk sahur, tinggal makan hidangan yang
ada di meja makan. Namun selama di perantauan ini, gue bangun menjelang adzan
subuh, minum, terus bobok lagi. Enggak bergairah untuk sahur. Apalagi di tempat
penugasan mengajar gue, muslim sangat minoritas. Bahkan di desa tempat gue
mengajar, cuma gue yang muslim. Jadi, ramadhan rasanya hampa. Enggak ada suara
adzan, enggak ada lantunan tadarus yang mengalun di speaker masjid, enggak ada
tukang jualan takjil.
Namun untungnya
saat lebaran gue bisa ke kota. Di kota, muslim lumayan banyak sehingga ada tiga
masjid besar di sini. Setelah tinggal di sini dari mulai H-2 lebaran, baru lah gue
merasa bergairah menjalani kehidupan di Bulan Ramadhan. Suara adzan yang gue nanti-nantikan
bisa gue dengar sepanjang waktu sholat. Lantunan tadarus Quran mengalun lewat
speaker masjid. Cuman tukang takjil aja di sini yang enggak ada.
Lebaran sendirian
tanpa keluarga membuat gue mengerti banyak hal. Yang pertama, gue mengerti
bahwa sesungguhnya gue ini kuat. Gue mampu jauh dari orang tua. Gue juga mampu
enggak komunikasi dengan gebetan. #eh
Kedua, gue
mengerti bahwa kehadiran keluarga selama ini sangatlah berarti. Gue baru
merasakan kehampaan saat jauh dari mereka. Karna itulah, sepulang gue dari
tempat ini, gue akan perlakukan mereka semua sebaik mungkin. Terutama nyokap
dan bokap. Gue akan segera penuhi hasrat mereka untuk menimang cucu. #eh
Di akhir tulisan
ini, gue mau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri tahun 1438 Hijriah.
Semoga ibadah yang telah kita lakukan selama ini diterima Allah, dan dosa kita
semua dihapuskan sehingga kita menjadi suci dan unyu seperti bayi yang baru lahir.
Aamiin...
Well, this is the
end of the post. Feel free to write your comment bellow and share the
inspiration!
Love yaa...
No comments:
Post a Comment