Saat ini gue
lagi berlibur bersama seluruh guru bantu dari pusat yang ditempatkan di Nias
Selatan. Liburan kami enggak aneh-aneh pergi ke Bali, atau ke Eropa. Kami hanya
kumpul di pusat Kabupaten Nias Selatan. Menghabiskan waktu bersama menikmati
jaringan listrik, jaringan seluler, dan suasana yang lebih Islami dibandingkan
tempat penempatan kami yang jauh dipelosok, jauh dari jaringan listrik dan
sinyal, jauh dari mesjid atau bahkan musola.
Kami tinggal
beramai-ramai di sebuah tempat penginapan. Tempat itu terdiri dari kamar-kamar.
Gue tinggal satu kamar dengan temen gue, Reza dan Indra. Mereka guru Bahasa Indonesia.
Cowok-cowok tinggal di lantai dua, sedangkan cewek-cewek tinggal di lantai
tiga. Cewek dan cowok terpisah! Enggak
gabung. Jadi aman!
Untuk menjamin
kelangsungan hidup kami selama di pusat kabupaten ini, kami memutuskan untuk
memasak sendiri. Ini jauh lebih hemat ketimbang harus membeli makanan di luar
tiap kali makan. Sekali makan harganya bisa sampai dua puluh ribu. Parah kan.
Lima puruh ribu bisa habis dalam satu hari. Namun, kalo kami masak sendiri,
uang lima puluh ribu bisa untuk bertahan hidup selama tiga hari. Sungguh hemat!
“Ayo makan yuk,”
ucap Aulia dengan kelembutan hati turun ke lantai dua mengingatkan anak cowok
untuk makan malam.
“Okeh,” jawab
gue dengan wajah yang cool.
“Kasih tahu
anak-anak cowok yah!” pinta Au, begitu gue memanggilnya.
“Sip,” kata gue
dengan wajah yang makin cool.
“Eh, Yoga.”
“Ya, Au?” kata
gue makin sok cool dan terlihat semaco mungkin.
“Kamu teh belum bayar iuran. Bayar!”
“O-oh,” wajah
gue berubah kaku. “Nan-nanti yah,” kata gue merasa cemen karna udah dua hari makan
tapi belum ikut patungan.
Selama dua hari,
cewek-cewek terus tanpa lelah memasak untuk kami semua. Dari mulai menyiapkan
sarapan pagi, menyiapkan makan siang, sampai memasak untuk makan malam. Semua
terjadwal dan pas banget. Masakannya juga enggak asal-asalan kayak semisal
hanya masak nasi diuwur-uwur pake
Masako Rasa Ayam. Dari sisi gizi, masakan yang mereka buat sungguh seimbang
gizinya. Sayur lengkap. Kadang daging ayam. Lalu telur. Bahkan tidak lupa
dengan menyiapkan dessert, agar jeli
dan es buah.
Superb!
Gue
bertanya-tanya atas kegiatan masak-memasak ini semua.
“Au, ini teh kalian masaknya dijadwal?” tanya gue
spontan ke Au. Saat itu gue lagi makan di lantai tiga, lantai yang berubah
menjadi dapur dan ruang makan. Gue tanya begitu ke Au karna penasaran banget
gitu. Cewek-cewek kok kompak banget selalu masak rutin. Apa mungkin diantara
mereka membuat jadwal, atau masak bareng-bareng terus. Tapi, melihat betapa complicated-nya
seorang cewek, pasti mereka bikin jadwal masak. Karna kan bisa aja gitu
diantara mereka menggerutu kek gini, “Ah, dari kemaren gue terus yang masak.”
Atau, “Sebel,
masa gue terus yang ganti galon!”
Atau bahkan,
“Bangke, itu orang kerjanya tidur-tiduran mulu update instagram photo selfie-nya.
Enggak liat apa gue cape masak begini. Mana fotonya lebih cantik dari gue
lagi!”
“Nah, iyah
dijadwal ajah. Cowok juga masak!” ucap Au tiba-tiba.
“Eh?
Ma-maksudnya?” Tanya gue.
“Cowok juga ikut
masak.”
Mampus! Kata
gue dalem hati. Ini sama sekali enggak gue perkirakan. Pertanyaan gue barusan
malah berujung gue harus masak. Beneran sebuah pertanyaan yang blunder.
Namun, gue
enggak mau kelihatan cemen. “Okeh!” kata gue mantap.
“Ceu Indri,
bikin jadwalnya tuh anak cowok masukin!” kata Au ke Indri. Dia yang membuat
jadwal memasak.
“Eh, tapi itu
cowok dipisah dari cewek. Biar anak-anak cowok satu genk untuk masak!” kata gue makin sok
banget.
Biarlah gimana
nanti jadinya kalo anak-anak cowok bersatu padu dalam masak. Moga enggak muncul
berita di koran, “Sekelompok Guru Bantu Pusat di Nias Selatan Dilarikan ke
Rumah Sakit setelah Keracunan Hidangan yang Dibuat Oleh Temannya Sendiri.”
“Besok mulai
berlaku jadwalnya. Kalian cowok-cowok dapet hari pertama!” ucap Indri menjelaskan.
Tibalah
Hari Memasak Cowok-cowok
Kami empat cowok
gagah bersatu padu memasak untuk kami semua yang berjumlah lebih dari dua puluh
orang. Kami mengerahkan seluruh kekuatan dan potensi yang kami punya untuk
meracik masakan.
“Haduh, capek,”
kata gue ngos-ngosan naek ke lantai tiga sambil bawa galon. Sebelumnya gue dua
kali bolak-balik pasar untuk belanja bahan masakan yang enggak terlalu berat.
Cuma beli bawang merah, bawang putih, dan daun jeruk. Serta kelapa parut. Baru
segini ajah gue udah ngos-ngosan. Cemen memang!
Gue melihat
cucian piring numpuk. Melihat cucian yang numpuk gue langsung sebel. Segera gue
cuci tuh semua piring. Sengaja gue pilih nyuci piring. Mungkin nyuci piring
enggak akan secapek bolak-balik pasar.
Kampret!
Pinggang gue. Pinggang gue keram. Nyuci piring numpuk habis dipakai dua puluh
orang lebih dalam keadaan jongkok di kamar mandi ternyata capek. Ternyata nyuci
piring juga gue lemah. Lemah!
Mungkin kalau
selama seminggu gue terus-terusan nyuci piring yang dipakai dua puluh orang
lebih tiap makannya, gue bakalan merangkak keluar kamar mandi di hari terakhir
sebelum gue dilarikan ke rumah sakin akibat nyuci piring ini.
Piring sudah
bersih mengkilap. Kini gue bantu tiga orang teman cowok yang juga memasak,
yakni Indra, Reza, dan satu lagi Agi.
Gue kadang
bingung gitu saat memulai memasak. Harus apa dulu yang mesti gue lakuin. Kali
ini kami akan memasak perkedel. Nah, ini mesti gimana dulu. Apa gue harus kupas
kentang dulu. Atau menyiapkan air rendaman dulu. Atau foto selfie lagi masak
dulu untuk diupload ke instagram.
Akhirnya
pertama-tama gue memutuskan untuk mengupas kentang. Bagi gue ngupas kentang
butuh konsentrasi tinggi. Kalau mata pisau ditekan terlalu dalam bisa-bisa
bukan cuma kulit kentang yang diambil, tapi daging kentangnya juga keambil. Ini
sulit. Gue heran ngeliat cewek ngupas kentang kayaknya gampang banget gitu.
Mereka bisa ngupas kentang dengan santai sambil ngobrol ketawa-ketiwi. Mungkin ngerumpiin
orang. Bahkan menurut gue mereka bisa ngupas kentang sambil main hula hoop.
Bawang merah
juga perlu dikupas. Ini juga enggak kalah ngeselin dari ngupas kentang. Gue
enggak begitu ngerti mana kulit bawang yang harus dikupas dan mana lapisan buku
dari bawang yang enggak dikupas. Belum lagi mata jadi perih, kayak ngelihat
mantan update foto selfie bareng pacar barunya. Dan nampaknya dia lebih bahagia
dari pada sebelumnya.
Proses memasak
pun dimulai. Agi berinisiatif menggunakan keju Chedar ke dalam adonan perkedel
kami.
“Keju?” tanya
gue sambil mengangkat alis.
“Iyah, keju.
Enak ini,” kata Agi sambil memotong dadu keju.
“Enak sih enak!
Tapi sayang lho,” kata gue. Agi terlalu gegabah menurut gue. Keju yang
merupakan makanan mahal mau dipake untuk bikin masakan yang kemungkinan berhasilnya
sangat kecil. Masalahnya ini tangan-tangan cowok. Tangan-tangan yang sering masak nasi
kelembekan, masak sayur jadi pahit karna kelamaan direbus, gorengan gosong
karna kelamaan enggak diangkat.
Proses memasak
pun dimulai. Keju benar-benar dipake di sini. Gue enggak perlu menceritakan
secara detail gimana step-by-step memasak kami. Yang jelas ini berlangsung
lama. Sampai akhirnya masakan jadi.
“Jadi ini teh
yang dari tadi dimasak lama?” ucap Indri.
Cukup menohok
relung-relung jiwa ucapannya memang, namun ini memang faktanya. Hanya bikin
perkedel membutuhakn waktu tiga jam setengah.
Gue pandangin
terus nih bentuk perkedel. Lembek. Pecah. Buyar. Kentangnya bertebaran enggak
terikat sempurna sama telor. Kejunya berhamburan enggak jelas arah. Basah sama
minyak. Ah, parah. Kurang asin lagi menurut gue.
Temen-temen dengan
baik hati mulai makan perkedel lembek ini. Gue selesai masak hanya duduk terpaku.
Meresapi peluh keringat yang keluar dari tiap pori-pori kulit. Nafsu makan
tergantikan dengan rasa capek.
CAPEK BANGET
SUMPAH!
Sebagai cowok,
entah gue harus merasa gagal atau merasa enggak guna. Hanya karna masak
perkedel aja udah kecapean. Gue jadi salut sama cewek. Mereka masak pasti
capeknya kayak gini. Dengan tubuh dan tenaga yang enggak sama dengan cowok, malah
mungkin akan lebih capek bagi mereka.
Mangkanya ketika
gue punya istri kelak, gue enggak akan membiarkan dia masak sendirian. Gue
pengennya kita masak bersama. Supaya enggak capek. Lagi pula, masak bareng
istri pasti asik. Pertama-tama gue kejutkan dia dari belakang. Gue peluk dia
tiba-tiba dari belakang. Tangan gue melingkar mesra di pinggulnya.
“Sayang, masak
apa?” kata gue. Kemudian tangan gue bergerak menyibakan rambut hitam panjang
yang menutupi tengkuk lehernya.
“Tumis ampas
kecap, Kang,” jawabnya sambil memotong cabe rawit.
“Kita masak
bareng yah!” kata gue sambil mengecup lembut tengkuknya.
Dia kegelian.
Selama masak
bareng istri pun bakal enggak terasa capeknya karna bisa diisi dengan bercanda.
Misal meperin terigu ke pipinya. Lalu istri bales meperin kecap ke hidung gue.
Ada mentega di sudut dapur, gue peperin ke jidat istri. Istri ngeliat minyak
panas menggolak di penggorengan, ….
O-oke, spertinya
ini enggak perlu gue lanjutkan lagi.
Intinya, gue
merasa salut sama perempuan yang mau masak. Karna walau kelihatannya ringan,
yang namanya masak sungguh melelahkan. Maka dari itu, ada baiknya kita
menghabiskan makanan yang dibuat teman cewek, atau nyokap, atau siapaun itu.
Ada baiknya kalau masakan nyokap kurang enak, coba lah tetap dimakan. Jaga
perasaan hatinya. Jangan malah mencari makanan di luar. Hargai setiap peluh
keringat orang yang memasak hidangan untuk kita. Itu!
Well, this is
the end of the post. Feel free to write your comment below and share the
inspiration!
See youu.. (titik dua bintang)
yooiii
ReplyDeletecowok juga harus bisa masak lho, gak cuma cewek doang yang dituntut bisa masak. Apalagi zaman sekarang kan pada serba instant tuh, jadi skill masaknya bisa berkurang karna hal instant
HUFT BANGETS
yoii, kayak masak nasi goreng, skrg ada bumbu masak nasi goreng instant. makanya skil memasak jaman sekarang masih kalah sama generasi terdahulu.
DeleteHm bener banget, masak adalah hal yang melelahkan. Salut sama cewek apalagi ibu-ibu di seluruh dunia yang sanggup multitasking. Bisa masak, jaga anak, bersihin rumah, gils gils, makanya aku sayang banget sama ibu. Tiap kali pulang kampung aku selalu makan di rumah, makan masakan ibu, jarang banget makan di luar kalau sendiri, kecuali emang satu keluarga makan di luar. Bagiku masakan ibu adalah yang paling enak dari segala macam masakan
ReplyDeleteiya, masak memang melelahkan. salut buat cewek cewek.
DeleteCowok juga harus bisa masak supaya gak cuma makan mie instan aja gara-gara gak bisa masak hahaha :D Emang kalo cowok mau masak pasti bingung pertama harus ngapain. Dulu saya pernah mau masak ayam goreng, bingung harus ngapain dulu, yang ada malah wajan hangus sama minyak sampe rumah penuh asap hahaha
ReplyDeletewahaha, wajan sampe gosong. apinya kecilin bro!!
DeleteGue tau capeknya nyuci piring di kamar mandi sambil jongkok.. you're not walking alone, dude! Hahaha.. btw, gue sepakat sih kalo masak itu gak gampang dan capek. Gue pernah nyobain masak Omurice, hasilnya malah jadi miris.
ReplyDeletetanpa wanita, pria memang berpotensi kelabakan mengurusi urusan seperti itu, hahaha. Gue juga ngerasain dulu waktu lagi camping, satu regu isinya cowok semua.. dan memasak kemudian menjadi lebih rumit daripad yang dibayangkan. Mau masak nasi, jadinya bubur. begitulah,
ReplyDelete