Semenjak menjalani PPL di Lembang,
gue jadi punya kesibukan baru, selain mempersiakan materi ajar dan scrolling
status orang-orang di WA. Gue dagang susu!
Menjalani PPL di Lembang merupakan
sebuah keuntungan besar. Karena lembang melimpah akan makanan khas. Terutama
susu murni. Jadilah gue dan teman PPL gue, Nanda, jualan susu murni.
Sebetulnya ide jualan susu ini muncul
dari Nanda. Dia yang mengajak gue untuk dagang susu. Susu murni di lembang
murah banget. Satu liter besar susu murni cuma seharga Rp 7.000. Sungguh
peluang bisnis yang menggiurkan.
Niat kami jualan susu cuma untuk
mengganti ongkos bensin yang dipakai tiap berangkat ke sekolah. Jadi kami tidak
muluk-muluk mematok penghasilan harus di atas satu miliyar perbulan.
Tiap satu liter susu murni yang kami
jual, kami ambil keuntungan dua ribu. Jadi sampai di konsumen seharga Rp. 9.000.
Sistem penjualan kami dengan cara pre
order. Jadi pembeli memesan dulu, baru kami belikan. Setiap hari Senin dan Kamis
gue dan Nanda belanja susu.
Kebanyakan pembeli berasal dari
sesama teman di asrama Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Kami menginap
di asrama yang bertingkat sampai lantai empat.
Jualan susu sungguh menyenangkan.
Sekali belanja bisa sampai untung Rp 15.000. sungguh angka yang lumayan buat
beli bensin tiap berangkat mengajar.
Namun setelah gue jalani, jualan susu
enggak segampang yang dibayangkan. Semakin gue menjalani perdagangan susu ini,
semakin gue mendapatkan tantangan.
Pertama.
Ngutang.
Dalam sebuah bisnis, pembeli
berhutang adalah hal biasa. Namun ketika gue jalani sebagai pedagang,
dihutangin ternyata rasanya nyebelin juga. Hari pertama dagang susu gue sudah
dihutangin sama Aip, penduduk asrama UPI, satu lantai dengan gue.
“Pas. Lima puluh satu ribu,” ucap Nanda. Malam itu kami
sedang menghitung penghasilan jualan susu.
“Loh, kan tadi belanja lima puluh dua
ribu? Berarti keuntungannya mana?” tanya gue sambil menghitung uang,
bertanya-tanya kemana keuntungan dagang hari itu.
“Kan Aip belum bayar,” ucap Nanda.
“Oiyah,” kata gue menepuk jidat.
Hari itu gue belum dapat keuntungan
dari jual susu, karena keuntungan gue masih di Aip. Dia ngutang. Yah, setelah
berpanas-panas beli susu, pulang belum dapat untung. Gue jadi kebayang, satu
orang yang ngutang aja udah kerasa banget sama gue. Apalagi kalo banyak.
Yah ini karena gue masih amatiran
dalam dagang. Jadi masih belum bisa selow ngadepin pembeli yang berhutang.
Namun setelah gue jalani, gue jadi makin selow sama pembeli yang berhutang. Gue
makin kalem.
Kedua.
Kurang Bayar.
Kasus ini enggak kalah nyebelinnya
juga. Suatu hari gue bertransaksi dengan pembeli, sebut saja namanya Nina. Susu
murni seharga sembilan ribu namun dia hanya membayar delapan ribu.
“Duh maaf, kurang seribu uangnya,”
ucap Nina. “Gimana yah?” tanya Nina.
“I-yah yaudah,” kata gue. Enggak
mungkin juga gue nyuruh Nina untuk ambil uangnya yang kurang.
Nina pun pergi membawa susu dengan
masih kurang bayar seribu.
Dan sampai sekarang pun gue lupa
apakah Nina sudah bayar kekurangannya yang seribu itu atau belum. Pengen gue
tagih, tapi takut dia menggerutu, “Yaelah cuma seribu doang ditagih.” Padahal
kalo dipikir-pikir, dari seribu perak itu lah gue ambil keuntungan. Dari
recehan itulah gue untung jualan susu. Kalo ada banyak orang kayak Nina,
bisa-bisa gue enggak dapat untung jualan susu.
Suatu hari Amin, teman satu asrama
bilang, “Kamu sama teman sendiri korting dong susunya. Kan cuma dua ribu. Sama
teman sendiri mah udahlah tujuh ribu aja.”
Masalahnya teman gue banyak. Semua
pembeli susu gue adalah teman gue semua.
Enggak kebayang kalau teman gue semua seperti Amin. “Justru kamu kalau ada
teman berdagang didukung dong. Support dia. Kasih tips lebih kalau perlu.
Jangan patahkan semangatnya,” kata gue pada Amin.
Amin pun hanya diam mematung.
Ketiga. Ngerjain.
Ini juga enggak kalah nyebelin. Suatu
hari ada pembeli dari gedung asrama sebelah.
“Kang, ayo cepetan. Aku tunggu di
sini!” ucap pembeli itu lewat chat WA. Sebut saja namanya Hani. Kami mau COD-an
susu murni.
“Tunggu!” balas gue dalam chat.
Gue lari-larian dari gedung asrama
gue ke gedung asrama sebelah, sambil bawa-bawa susu. Setelah gue sampai di
tempat yang Hani minta, dia enggak ada.
Gue kembali mengirim chat, “Hani dimana? Aku udah di sini.” Gue tunggu
Hani enggak kunjung balas chat gue.
“Kang, di depan gerbang,” chat masuk
dari Hani.
Gue langsung lari ke gerbang depan
sambil nenteng susu. Susunya bergoyang tak tentu arah.
“Dimana?” Tanya gue kembali setelah tidak
mendapatkan Hani di gerbang. Gue kirim foto di tempat keberadaan gue.
Hani lama tidak membalas. Gue tetap
menunggu tidak bergerak di gerbang sambil mengatur nafas. Mungkin karena gue
sudah tua, baru lari-lari dikit aja udah eungap.
“Kang, nanti aja deh,” tetiba chat
dari Hani masuk.
Gue yang masih ngos-ngosan langsung
duduk bersimpuh. Setelah lari-larian dari satu gedung ke gedung lain, setelah
berlarian kesana kemari, dan setelah gue hampir kena step gegara ngos-ngosan,
Hani cuma bilang, “Nanti aja deh.”
OK FINE!
Ketiga.
Tukang nitip
Jenis pembeli yang nyebelin ini beda
dari yang gue sebutkan. Dia bukan ngutang, tapi belum bayar.
Sebut saja Jeni. “Kang uangnya sudah
aku titipkan ke Danu yah,” bunyi chat WA Jeni. Saat itu Jeni membeli yogurt. Dia
minta yogurtnya dititipkan ke Danu. Dan dia menitipkan uangnya ke Danu. Namun uangnya
kurang. Kemudian jeni kembali menitipkan uangnya kini ke orang lain. Yaitu Riska.
“Eh kang maaf. Aku lupa bawa uangnya,”
ucap Riska saat gue papasan sama dia.
“Oh, iya tenang aja,” jawab gue.
Esoknya gue ketemu Riska, dan Riska
lupa lagi. Sampai akhirnya seminggu lebih Riska baru ngasih uangnya ke gue.
Enggak papa.
Kesimpulan dari tulisan ini:
berdagang memang banyak tantangan. Dari mulai dihutangin, dititipin, bayar
kurang, sampai dikerjain sampai ngos ngosan. Namun gue terima semua hal menyebalkan itu dengan lapang dada. Ini lah
resiko dagang. Yang jelas gue senang sudah bisa menjalankan salah satu sunah
Nabi Muhammad.
Gue senang ketika para costumer
kegirangan menenggak susu murni yang begitu segar dan nikmat. Gue senang bukan
kepalang saat costumer bilang, “Yogurtnya aku suka. Kental banget. Ini baru
yogurt!” Kepuasan pembeli langsung menghilangkan rasa menyebalkan yang gue
alami.
Dari semua lika-liku jualan susu ini,
gue selalu ambil hikmah. Gue selalu belajar agar menjadi pedagang yang lebih
baik lagi. Gue belajar untuk berjualan lebih bahagia lagi.
Belum lagi ada teman waktu beli susu bilangnya begini "Bro harga teman dongs?!" wah iniii wkwkwk berdagang banyak lika-likunya dan banyak kebahagiannya.
ReplyDeleteSuka banget susu murni yang gurih segar, sayang kita jauh, hi hi. Coba kalau dekat mah bisa pesan untuk saya dan Palung. Susu murni bagus untuk penulis yang terpaksa kerja seharian dan tak terlalu doyan kopi.
ReplyDeleteSudahlah, jalan rezeki masih ada di sekitar Kang Yoga. Semoga bertahan lalu bisa lebih sabar ngadepin pembeli. Insya allah suatu saat kelak akan menghasilkan dari segi pengalaman kerja sampai membangun mental sebagai wirausaha. Tetap melaju jualan susu.
Di sini juga ada kok pengutang warung termasuk saya, namun saya selalu berupaya bayar secepatnya jika uang sudah ada dan jangan menunda-nunda suatu urusan. Semoga saja insan yang suka ngutang tak berlama-lama menunda urusan pembayaran karena bikin susah orang akan jelek di mata Allah.
Semoga lancar rezekinya, ya, Kang. Semangat!