Sumpah judul di atas enggak bagus
sama sekali. Gue enggak punya ide untuk memberi judul yang baik saat ini. Intinya
gue mau cerita di saat gue marah kepada murid.
Saat ini gue sedang menjalani PPL di
suatu sekolah di Lembang Jawa Barat. Gue menjalani praktik ngajar selama tiga
bulan. Seperti yang mahasiswa PPL lainnya rasakan, gue juga males menjalani PPL
ini. Males menghadapi siswa-siswa. Tingkahnya pasti susah diatur. Berdasarkan pengalaman
gue waktu PPL sebelumnya, siswa paling sering bikin kesel, bikin BT, bikin
emosi.
Namun demi menjalankan amanah dari
negara untuk menjadi guru profesional, gue hadapi semua hal menyebalkan itu. Sungguh
jiwa nasionalisme gue tidak usah dipertanyakan lagi. Begitu juga jiwa
nasionalisme seluruh guru di Indonesia. yang harus dipertanyakan mah jiwa
nasionalisme pemerintah tuh. Masih suka korupsi untuk memperkaya diri sendiri. Hih!
Betul saja apa yang gue duga
sebelumnya. Saat gue masuk ke kelas IX-G gue langsung dihadapkan dengan
siswa-siswa yang nyebelin.
“Oke. Listen up!” kata gue meminta
perhatian kepada siswa. Namun mereka seakan tidak mau mendengarkan. Gue ngomong
di depan kelas, masih ada aja siswa yang ngobrol di belakang seakan mereka
pikir guru yang menerangkan di depan kelas sama sekali enggak penting.
Gue merasa aneh banget gitu dengan
sikap mereka. Dulu waktu gue sekolah, jangankan ngobrol kenceng di kelas saat
ada guru menerangkan, meleng sedikit aja gue takut.
Dulu guru-guru gue memang galak. Sehingga
mereka ditakuti. Namun memang itulah metode yang tepat untuk menghadapi
siswa-siswa di Indonesia yang begtiu karakternya.
“Listen to me, class!” pinta gue
sekali lagi.
Anak-anak mulai memerhatikan. Di antara
mereka mulai meminta teman-temannya untuk diam.
“Heh, jempe hehh!” ucap seorang anak kepada temannya.
Akhirnya kelas tenang setelah gue
meminta perhatian kira-kira lima kali.
Gue harus bersusah payah hanya untuk
meminta perhatian. Guru jaman dulu mah sekali gebruk meja aja udah dapat
perhatian dari siswanya.
Di pertemuan selanjutnya kelas IX G
masih ribut. Namun kali ini ributnya makin menjadi-jadi. Saat gue sedang
menerangkan di depan kelas, ada anak yang lari-larian dan mainin botol untuk
mukul temannya. Bayangin, gue lagi ngajar, anak berani lari-larian di dalam
kelas. Kurang ajar!
Saat itu juga gue emosi. Marah gue
naik sampai ke ubun ubun. Gue meledak.
“DIAM!” kata gue.
Anak-anak langsung diam mematung.
“Maneh sih!” ucap seorang anak
menyalahkan temannya.
“KAMU JUGA DIAM!” tunjuk gue pada
anak itu.
Bukannya sadar, dia malah nengok ke
belakang. Dia kira gue nunjuk anak yang di belakngnya kali.
“KAMU YANG NENGOK KE BELAKANG!!”
Teriak gue kencang.
Kelas menjadi tegang. Anak-anak diam
mematung. Emosi gue sudah meledak di ubun-ubun.
Setelah marah, kelas menjadi berbeda
rasanya. Seperti ada gap antara gue dengan murid. Namun biarlah. Mereka sudah
keterlaluan. Pagi itu gue keluar kelas IX-G dengan cuek. Males banget rasanya
ngajar mereka.
Gue melangkahkan kaki ke luar kelas
tanpa sapaan pamitan seperti biasa. Gue menenangkan diri di ruang guru sambil
duduk bersandar di kursi gue.
Gue ingat-ingat lagi kejadian saat
gue marah di kelas tadi. Gue merasa puas sudah memarahi anak-anak. Emosi gue
tersalurkan. Senang rasanya. Namun semakin lama gue memikirkan kejadian tadi
entah mengapa suasana hati gue jadi makin berbeda. Yang tadinya senang sudah
memarahi anak-anak sehingga mereka diam, malah jadi timbul perasaan tidak enak.
Gue jadi gelisah karena kelepas emosi tadi.
Seharian suasana hati gue enggak
tenang. Sekarang malah timbul perasaan menyesal sudah memarahi anak-anak. Ini kok malah jadi gini sih? Kata gue
membatin.
Hari itu rasanya ingin gue mandi di
bawah shower hangat. Memikirkan kenapa gue bisa marah sama siswa. Kalau di
film, ini adalah adegan dimana seorang lelaki basah-basahan di bawah shower
dengan pakaian lengkap. Kedua tangan menutupi wajahnya. Dia bersandar ke tembok
lalu perlahan merosot ke posisi jongkok karena tak kuat menahan berat beban
penyesalan di pundaknya.
“Maafkan bapak sudah marah, Nak,”
kata gue membatin.
Kedepannya gue akan coba strategi
berbeda dalam menenangkan siswa. Asalkan jangan marah. Nanti gue merasa
bersalah.
Sabar pak eko haha murid mah emang lagi masa-masanya berkreasi wkwk
ReplyDeleteEmang gitu sih, Mas. Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Memang untuk menenangkan anak-anak sekarang sama yang dulu beda. Harus punya trik tersendiri, Mas..hehe
ReplyDeleteAku sering denger dari mamaku sih, soalnya mamaku guru. Emang bener kok makin ke sini anak-anak semakin susah diatur. Jadi guru sekarang serba salah, mau di diemin tapi kan tugas guru menasehati, sedangkan kalo dimarahin kadang ada anak yang lapor ke orang tua terus orang tuanya ngamuk ngamuk di sekolah. kalo udah gitu keliatan deh orang tuanya yang ga bener hahaha, anaknya salah masa malah dibelain. kecuali kalo gurunya udah keterlaluan sampe mukul keras yang membahayakan murid, kalo itu, jangan sampe ya hehehe
ReplyDeleteMarah itu manusiawi. Tapi emang jaman udah beda. Perlu inovasi baru untuk itu. Beberapa orang menerapkan caranya masing2. Postingan ini hanyalah uneg.
ReplyDeleteGue ngejelasinnya udah guru banget.
BROKER AMAN TERPERCAYA
ReplyDeletePENARIKAN PALING TERCEPAT
- Min Deposit 50K
- Bonus Deposit 10%** T&C Applied
- Bonus Referral 1% dari hasil profit tanpa turnover
Daftarkan diri Anda sekarang juga di www.hashtagoption.com