Tahun 2016 lalu gue jadi guru bantu
dari pusat untuk mengajar di daerah pedalaman Indonesia. Gue ditugaskan di
Pulau Nias. Tepatnya di pedalaman Kabupaten Nias Selatan, Kecamatan Boronadu.
Gue mengajar di salah satu SMP.
Anak SMP di sini kelakuannya masih
kayak anak SD. Udah SMP masih main kejar-kejaran. Udah gitu kalo ketangkep sama
temennya, nangis. Udah nangis ngadunya ke guru. Cemen! Kayak gue waktu dulu
ajah. Namun gue enggak menyangka juga, di balik kelakuan mereka yang kayak anak
SD, mereka mulai tumbuh dewasa. Mereka mulai pacar-pacaran.
Gue bingung ngebayangin gimana anak
pedalaman gini saat pacaran. Ini bentuk pacarannya kayak gimana coba? Kalo anak
kota kan asik gitu. Pulang sekolah janjian jalan bareng, nonton ke bioskop. Atau
bisa juga janjian ketemu di taman deket sekolah, nongkrong di sana sampe magrib
sampe dicariin orang tuanya dikira hilang.
Lah, anak pedalaman gimana? Di sini
enggak ada bioskop. Cuma bisa nonton tivi. Itu juga pake genset karna listrik
belum ada.
FYI, orang di sini kalo nonton tipi
ada jadwalnya, yakni tiap jam 8 malem. Yang ditonton sinetron alay. Itu juga
nontonnya bareng-bareng di rumah warga yang punya tivi. Karna di sini cuma
sedikit warga yang punya genset untuk nonton tivi. Cuma orang yang sanggup beli
bensin 20 rebu tiap malem yang punya tivi di rumah. Mangkanya, punya tivi di
rumah aja sudah dianggap kaya oleh warga di sini.
Karna di sini enggak ada bioskop,
mungkin bocah SMP jadinya janjian nonton sinetron bareng di rumah tetangga.
“Nanti malem kita nonton Anak Langit
Bareng yah,” kata si cowok. Ngajakin ngedate gebetannya sambil nobar sinetron
alay di rumah warga.
“Iyah, jangan lupa bawa senter kamu untuk
dicas,” ucap si cewek mengingatkan. Karna warga sering numpang ngecas senter,
hape, sampe radio.
Bagi bocah SMP di sini, untuk PDKT janjian
ketemu di taman juga enggak mungkin. Mana ada taman di sini. Yang ada ladang
daun ubi untuk makanan babi.
FYI, warga di sini 100% beragama Nasrani.
Dan mata pencaharian mereka sehari-hari salah satunya beternak babi. Tiap hari
babi harus dikasih makan daun ubi. Dan Anak-anak pun tiap hari disuruh orang
tuanya untuk mengambil daun ubi di ladang.
Kan lucu aja gitu kalo PDKT janjian
ketemuan di ladang ubi ngambil makanan babi. Terus si cowok ngegombalin
gebetannya di ladang ubi.
“Kamu tahu enggak bedanya kamu sama
daun ubi?” gombal si cowok sambil ngarit daun ubi.
“Enggak. Emang apa?” kata si cewek
salah tingkah.
“Kalo daun ubi bikin babi kenyang,
kalo kamu bikin aku sayang.”
“Ihh, so sweet!” si cewek langsung
diabetes di tempat karna gombalan yang kelewat manis.
Absurd sumpah.
Tapi, anak usia SMP memang wajar
untuk punya rasa suka dengan lawan jenis. Gue juga dulu gitu kok. Daripada rasa
suka sesama jenis yang sekarang lagi hits. Bahaya!
Namun, ini tugas guru untuk
mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Peran guru untuk mencurahkan energi
mereka menyukai lawan jenis ke arah yang positif. Bukan dengan pacar-pacaran.
Lagian juga masih bocah yang nangis kalo dibentak guru, masa udah pacaran.
Jangan sampai guru lepas tangan sehingga munculah berita di koran, “Seorang
siswi SMP mencoba bunuh diri dengan melilitkan daun ubi ke lehernya karna putus
cinta.”
Serem!
***
“MISTER, MEREKA KIRIM-KIRIM SURAT,” teriak
seorang siswa di kelas. Gue kaget. Serasa dibentak sama siswa.
FYI, tipikal orang Nias itu enggak
jauh beda sama orang Batak. Kalo ngomong kenceng banget. Bahkan siswa yang lagi
bisik-bisik di pojokan kelas ngobrolin jalan cerita sinetron alay yang dia
tonton semalem aja kedengeran sampe di telinga gue. Mangkanya, saat siswa
teriak, gue serasa dibentak.
Saat itu gue sedang asyik menjelaskan
materi surat undangan dalam Bahasa Inggris.
“Syapa itu? Berikan sama Mister suratnya!”
kata gue.
Gue merampas surat mereka.
“Jangan ada lagi yang main surat-suratan
di kelas!” kata gue sok-sokan galak. Padahal gue orangnya enggak tegaan. Saat
ada seorang cewek yang lagi patah hati sama mantannya minta gue temenin dan gue
perhatiin aja gue turutin. Enggak tega. Walaupun akhirnya dia ngilang setelah
baikan dan balikan sama mantannya. Gue mah gitu orangnya. Enggak tegaan
walaupun pada akhirnya gue yang terluka. Hiks.
“Itu surat cinta, Mister!” ucap siswa
membuyarkan gue.
“Heh? Surat cinta?” kata gue heran. “Nih
yah. Apalagi main surat cinta-surat cintaan. Enggak boleh!” kata gue
mengacungkan surat itu ke atas, lalu gue remek remek sampe berbentuk bulat. Gue
simpan rapih di dalam tas.
Sumpah, gue penasaran banget
sebenenrnya apa isi surat cinta ini. Tapi enggak mungkin kan gue terang-terangan
girang baca surat itu di depan anak-anak. Gue harus jaga wibawa di depan
mereka. Gue harus nunjukin ke mereka gue enggak peduli dengan surat cinta ini. Gue
harus nampak marah agar mereka enggak lagi main surat cinta.
Sesampainya di rumah gue buru-buru
buka apa isi surat cinta ini.
Dan setelah gue baca, isinya kampret
banget!
Salam
manis untuk adik Juliami yang aku
cintai
selama ini. Sebelum gue menyampaikan
kertas
putih ini, terimalah salam aku dalam
bahasa
kita berdua:
I
love you
Sampe sini udah kampret banget kan!
Dek,
sebenarnya aku itu dari dulu
Mencintai
kamu waktu kita masuk
SMP
ini...
I
love Juliami
Penulis:
Tano Z Hia. Balas sayang!
Kalo kalian mau muntah, muntahin aja
sekarang.
Membaca surat ini rasanya campur
aduk. Antara geli, mual, sampai mules. Anak pelosok kayak mereka belajar
darimana coba kata-kata najis itu?! Gue waktu SMP dulu aja enggak berani ngirim
surat ke cewek yang gue suka. Jangankan bilang ‘I love you’ lewat surat, minta kertas binder biodatanya aja gue
malu.
Keesokannya gue panggil Tano dan
Juliami ke ruang guru. Gue mau menasehati mereka supaya jangan pacar-pacaran.
Karna itu bisa mengganggu belajar.
“Heh, Tano. Heh, Juliami. Kalian
pacar-pacaran yah?” tadinya gue mau negur mereka gitu. Tapi, gue buat lebih
halus supaya tidak melukai hati dan jiwa mereka.
“Tano dan Juliami, coba Mister mau
tanya.”
“Iya, Mister,” ucap Juliami tertunduk.
Begitu juga Tano di sebelahnya.
Siswa lain berkerumul mengintip di jendela.
“Apa benar ini Tano yang menulis
surat?” tanya gue lemah lembut.
“Dia itu, Mister,” Tano membantah dan
menuduh Juliami.
“Bukan aku itu, Mister.” Juliami
ikutan membantah.
Ini kok mereka sama-sama membantah.
Jangan-jangan mereka jodoh.
Gue mah gitu orangnya. Suka
mengait-ngaitkan. Dulu gue waktu kuliah
nilai matakuliah Structure gue dan
gebetan sama-sama dapet AB ajah merasa jodoh. Melihat motor gue dan motor
gebetan samaan berjejer di parkiran kampus, langsung merasa jodoh. Melihat
sendal gue dan sendal gebetan berjajar saat solat jumat, merasa jodoh.
“Sekali lagi Mister tanya, apa benar
ini Tano yang menulis?” tanya gue lagi.
Tano hanya diam. Gue anggap ini
jawaban, ‘Iya,’ dari Tano.
Gue melihat ini kasus Tano yang
ganjen. Dia caper ke Juliami. Lagi pula ini surat Juliami tidak membalasnya.
Sudah jelas di sini Tano yang salah. Sudah sepatutnya gue menghukum Tano, bukan
Juliami atau keduanya. Kebanyakan guru suka ambil gampang ajah dalam ngehukum
murid. Ada murid yang berantem, langusng dihukum keduanya. Padahal guru enggak
tau duduk perkaranya gimana. Maen babat habis aja nganggep keduanya salah.
Kayak cewek ajah yang semena-mena menganggap semua cowok sama ajah. Sumbernya
salah.
Guru harus objektif, melihat siapa
yang salah.
“Tano, ini peringatan pertama dari
Mister. Kamu tulis tugas surat undangan dalam Bahasa Inggris seperti yang Mister
ajarkan di kelas. Itu hukumannya,” gue memberi tugas untuk Tano mengenai materi
surat yang gue jelaskan di kelas.
“Hah kan, rasakan kau tu!” hardik Juliami
tiba-tiba pada Tano.
“Kamu juga, Juli! Di kelas harus
tenang!”
“Nah kau juga kan!” Tano nyamber lagi
kayak ibu-ibu yang suka nyamber dialog tokoh di sinetron.
“Heh, sudah diam. Pokoknya, kalian
cukup bersahabat. Kalau kalian suka, cukup bersahabat. Berteman baik. Berlomba
mendapat peringkat di kelas. Jelas?” ucap gue.
“Iyah, Mister,” keduanya menunduk dan
manut. Entah mereka mengerti atau enggak dengan yang gue ucapkan.
“Mister juga dulu waktu seumur kalian
enggak pernah pacaran. Mister bersahabat dengan teman,” kata gue. Sambil dalam
hati gue berbisik, maaf kan mister, Nak. Mister
berbohong. Memang benar mister bersahabat dengan orang yang mister suka, tapi
itu kepaksa karna mister hanya mampu mengagumi dia diam-diam. Mister hanya
seorang secret admirer. Sedih yah, Nak!
“Oke, kalau sudah, kembali ke kelas!”
Pinta gue ke mereka.
“Iya, Mister.”
Melihat tingkah laku Juliami dan Tano
ini gue jadi ingat romansa percintaan gue dulu. Kira-kira seumuran mereka ini
lah. Badan gue pun semungil mereka. Mungkin agak lebih kecil sedikit. Satu
tahun di bawah mereka. Saat itu gue kelas 7 SMP. Gue jatuh cinta dengan sosok
gadis bernama Harviani Ike Lestari.
Ike bukan teman satu kelas gue. Juga
bukan teman satu sekolah gue. Kami teman satu tempat les. Gue pertama kali
bertemu Ike di tempat bimbel bernama Cahaya Ilmu.
Ike adalah gadis pertama yang ketika gue
menatapnya, membuat dada gue terasa ngilu tiba-tiba. Seperti sedang berkendara
menuruni jalan yang turun curam. Benar-benar ngilu.
Dia gadis dengan wajah Jawa. Wajahnya
sawo matang. Coklat manis. Bukan hitam manis. Ia tidak cantik mencolok seperti Maudi
Ayunda, namun dia juga enggak buruk rupa kayak Dijah Yellow. Wajahnya begitu
pas bagi gue. Saat ia senyum, dua buah lekukan di pipi kanan dan kirinya
membuat gue terpaku.
Dia adalah perempuan dengan suara
lembut dan senyum yang sangat manis yang pernah gue ingat. Tatapan wajahnya
membuat gue merasa adeeem banget. Mungkin kalo gue kena panas dalem enggak
perlu minum Adem Sari, ngelihat tatapan Ike aja panas dalam gue sembuh.
Ike selalu mengendarai sepeda kumbang
berwarna merah muda tiap ia berangat les. Cara ia mengayuh sepeda sungguh
indah. Karna gue sedang jatuh cinta, mau bagaimanapun Ike mengayuh sepedanya,
dia akan terlihat indah di mata gue. Walaupun kalo Ike membawa sepeda
ugal-ugalan kayak Marc Marquez, dia tetap indah di mata gue.
Begitulah yang gue rasakan saat kelas
7 SMP. Gue hanya bisa memandanginya. Menyimpan tiap detail dari dirinya, sampai
sekarang dua belas tahun kemudian. Tidak kepikiran sama sekali untuk menyatakan
perasaan ini kepadanya saat itu. Gue sendiri bingung. Gue suka sama Ike, terus
kalo udah gini, gue mesti gimana? Enggak ada terlintas dipkiran untuk pacaran.
Yang gue tahu, gue nikmatin aja semua perasaan suka gue ke Ike. Gue nikmatin
debaran jantung saat gue duduk di sebelah Ike di tempat les. Gue nikmatin momen
saat berpapasan sama Ike di jalan hendak pulang ke rumah. Gue nikmatin obrolan
sama Ike, yang setibanya gue di rumah, masih gue ingat setiap bahan obrolan
sama dia.
Beberapa bulan kemudian, Ike enggak
pernah lagi berangkat les. Dia ngilang gitu aja. Jujur, kadang gue masih
merindukan masa itu. Saat gue berteman dengan Ike. Gue belum sempat mengenalnya
lebih jauh. Mungkin saat ini pun ketika Ike bertemu dengan gue, dan gue
tba-tiba menjabat tangannya erat dan bersemangat, Ike bakal teriak, “Jambret! Jambreeet!
Copet! Hipnotissss. Toloonggg!!!”
Yah, karna Ike pasti lupa sama gue. Dan
ditambah wajah gue yang menyeramkan. Maka Ike akan ketakutan dan menyangka gue
jambret.
Balik lagi ke Juliami dan Tano.
Setelah kejadian surat cinta najis kemarin, gue memberi pengawasan kepada
mereka berdua. Mereka boleh aja mulai suka sama lawan jenis, tapi tugas gue
sebagai guru tetap memastikan mereka berada di koridor yang benar. Tetap dalam
aturan. Jangan sampai terjerumus dengan kemaksiatan yang berdampak buruk bagi
diri mereka sendiri.
Kamunya guru? Ihh gw gak mau sekolahin anak gw ke sekolah lu. Nnati dia jadi setres kaya lu, wkwkwkwkwk
ReplyDeleteBtw, gw ucapkan salut gue atas kerelaannya mengajar di daerah pelosok. Semoga daerah pelosok ikut maju seperti di Jawa.
Tunggu tunggu tunggu, waktu shalat jumat, sandal kamu sama si doi bersisian? Waduuuwww ... mendadak aku merasa, semoga aku salah baca bagian yang itu. Berasanya si Ike bukan cewek lho.
ReplyDelete