Saat ini gue
tinggal di Nias Selatan. Gue bertugas sebagai guru bantu dari pusat untuk
mengajar di sekolah-sekolah yang masih kurang. Baik kekurangan guru, kurang
baik dalam admisnistrasi, atau sulit dijangkau. Daerah penempatan kami sungguh jauh dari peradaban. Gue pun
ditempatkan di daerah yang sungguh sulit ditinggali. Di sini enggak ada
listrik, susah sinyal, jalan pun hancur. Karna jalan hancur, banyak daerah yang
cuma bisa dicapai dengan jalan kaki. Enggak bisa dilewati kendaraan. Medan
perjalananpun enggak bisa dibilang gampang. Kontur jalan di sini perbukitan. Sering
banget gue harus nanjak ke bukit untuk menuju kampung sebelah. Gue nyaris
pingsan saat harus naik-naik ke puncak bukit menghadiri acara syukuran teman
guru
kala itu.
Di daerah terpencil gini gue rentan sakit.
Mungkin karna belum terbiasa hidup sepreaktis di Jawa. Dimana mau beli makanan
tinggal ke Indomaret, mau hiburan tinggal ke warnet. Sekali waktu gue jatuh sakit. Demam. Badan gue
rasanya menggigil. Tulang-tulang serasa ngilu semua. Mata
gue perih. Enggak mampu membuka mata lama. Gue cuma bisa tidur. Berbaring lemah
di kamar.
Gue harus ke
puskesmas. Jangan sampai demam ini berlarut-larut. Gue enggak mau berakhir di
sini. Dengan sempoyongan gue jalan ke puskesmas desa. Orang-orang di sini menyebutnya rumah sakit.
Perjalanan ke
puskesmas cukup menantang. Jalannya tersusun dari bebatuan kali
yang cadas dan gue harus
menyebrangi satu sungai. Kalian jangan pikir nyebrang sungai di sini sama
dengan nyebrang sungai di Jawa yang bisa lewat jembatan. Gue harus bener-bener
nyemplung ke sungai karna di sini jembatan hanyalah mitos. Gue bergerak dari sisi sungai sini ke sisi sungai di sebrang
sana. Untungnya kedalaman sungai hanya sebetis orang dewasa.
Akhirnya gue sampai
juga di puskesmas yang berjarak 1 km dari rumah.
“Sakit apa,
Bang?” tanya seorang perawat. Di sini enggak ada dokter. Yang ada
cuma perawat.
“Demam,” jawab
gue enggak bergairah.
“Oh, sudah
berapa lama?”
“Dari kemarin.”
“Sebentar yah,” pinta perawat itu.
Gue menunggu dia dengan jantung
berdebar-debar seolah menunggu jawaban cinta dari gebetan.
Okeh lebay!
“Nah, ini
obatnya.”
“I-ini udah gini
ajah?”
tanya gue keheranan.
“Iyah.”
Lah, gue cengok.
Gue dateng, ditanya sakit apa, terus langsung dikasih obat. Gue kira bakal diminta nulis nama di
kartu pasien, terus diperiksa tekanan darah gitu, atau di periksa detak
jantungnya pakai stetoskop. Tapi ternyata enggak.
“Ini. Ini
obatnya, Bang,” ucap perawat tadi sekali lagi.
Gue menerima
obat dalam keadaan linglung. Aturan minum obatnya pun enggak tertera di sama. Ini gimana aturan minumnya, kata gue membatin. Obat-obatan yang perawat berikan
enggak dibungkus plastik sama sekali. Biasanya di plastik itu lah ada aturan
makan dengan ditulis “3 X 1,” atau “2 X 1.” Gue menatap obat itu lamat-lamat yang hanya dalam
lembaran strip.
“I-ini gimana
aturan minumnya?” tanya gue.
“Yang ini tiga
kali sehari. Ini dua kali sehari,” katanya mengira gue seorang jenius
yang bisa hafal dengan sekali bilang.
“Boleh pinjam
pulpen?” Tanya gue. Daripada lupa di kemudian hari, gue berniat mencatat aturan
minumnya di lembaran stripnya langsung pake pulpen.
“E-enggak ada,
Bang.”
“Haduh!” gue
pasrah.
Gue pulang
dengan terus mengucapkan aturan minum obat, “Ini tiga kali sekali, ini dua kali
sehari.” Supaya hafal. Selain itu, tangan gue menenteng dua strip obat tanpa pelastik.
Udah kayak beli permen.
Beberapa hari
kemudian, gue sembuh. Demam gue berangsur hilang. Badan rasanya segar. Mata gue
sudah enggak perih lagi. Berbulan-bulan gue lalui dengan sehat walafiat. Namun,
tibalah di saat tangan gue bentol-bentol berair kayak alergi. Awalnya biasa
ajah. Lama-kelamaan terasa gatel. Makin gue garuk, makin gatel dan cenderung
panas. Lama-lama menjadi luka dan malah korengan. Ngeri.
Gue kembali ke
puskesmas.
“Iiih,” perawat itu nunjukin muka yang agak jijik. “Sudah
berapa lama?”
“Tiga hari,”
jawab gue sambil menatap lemah tangan gue yang banyak nanahnya. Basah. Jelek.
Bau amis. Ihh.
“Ini obatnya,”
kata perawat langsung menyodorkan amoxicillin, asam mefenamat, dan grisofulvin.
Gue lihat
sekitar, ada anak yang kakinya luka digigit anjing. Dia dikasih amoxicilin dan
asam mefenamat juga. Ada seorang bapak yang tangannya bisulan, juga dikasih
obat yang sama. Ini gue mikir apa semua orang yang sakit berobat ke sini bakal
dikasih amoxicillin dan asam mefenamat semua apa gimana!
Masa bodo. Yang
penting gue udah dapet obat dan pengen segera gue minum. Gue pulang ke rumah dan sembuh dalam tiga
hari. Ajaib!
Namun enggak
begitu lama, penyakit gatal-gatal gue itu kambuh lagi. Gue kembali ke rumah
sakit, yang sebetulnya ini puskesmas. Gue bertemu dengan perawat yang berbeda
dengan pertama kali gue berobat.
“Waktu itu
dikasih obat apa, Bang?” tanya perawat yang baru.
“Ha?” gue heran.
“Iyah, dikasih
obat apa
waktu berobat tangan ini sebelumnya?”
“A-amoxicillin,
griselofulvin, dan asam mefenamat.”
“Oh,” sesaat
kemudian perawat itu memberi gue obat yang gue sebutkan.
Ini kenapa malah
gue yang ngasih tahu obat ke dia. Lah. Bukannya dia, si
perawat, yang tahu obat apa yang harus gue minum. Absurd sumpah.
Tangan gue
sembuh namun lagi-lagi kambuh. Gue enggak tahu ini penyakit apa. Gue berobat
lagi dan dikasih obat yang sama namun kambuh lagi. Mungkin hanya ada obat itu
di puskesmas. Obat untuk semua penyakit.
Di tempat terpencil ini memang sulit.
Kalau sudah sakit, semua jadi rumit. Puskesmas yang layak jaraknya jauh. Yang
ada hanya puskesmas yang tiap orang berobat dikasih antibiotic amoxicillin
mulu. Belum lagi medan jalan yang harus dilalui dengan susah payah. Bayangin,
orang sakit mesti nyemplung ke sungai untuk nyebrang. Buat mereka yang rumahnya
di puncak bukit, mereka harus menuruni bukit curam untuk pergi berobat. Sungguh
perjalanan yang menantang bagi orang sakit untuk berobat di sini.
Selain itu, di sini gue jauh dari orang
tua. Saat sakit jadi lebih terasa betapa gue tergantungan sama orangtua.
Bukannya gue lemah atau manja. Saat gue sakit, entah kenapa rasanya butuh orang
yang merhatiin. Seenggaknya ngingetin minum obat. Karna yang namanya sakit
jangankan gerak minum obat, ngebuka mata ajah rasanya berat. Perih aja gitu
mata. Nafas panas memburu.
Namun gue bersyukur. Selama sepuluh bulan
ini gue mampu lewati sehat-sakit gue. Saat sakit, gue paksakan diri untuk
sembuh. Gue rutin minum obat teratur, walaupun ini berat. Gue makan dengan
teratur. Gue pengen sembuh. Gue harus sehat. Gue akan kembali ke Jawa dan
bertemu orang tua dan keluarga di bulan ke duabelas nanti.
Hidup selama hampir setahun penuh di
daerah terpencil membuat gue lebih bersyukur. Sewaktu gue di Jawa apa-apa gampang.
Berobatpun gampang dan berkualitas. Sedangkan di sini harus gue survive untuk
sehat terus. Harus lebih jaga kesehatan. Karna kalau udah sakit, semua jadi
rumit.
Well, this is the end of the post. Feel
free to write your comment below!
Keep healthy guys!
Begitulah mas hidup di Desa, apalagi desa yang hmm ya begitulah.
ReplyDeleteOhya cepet2 cari yang bisa merhatiin pas lagi sakit biar ngga tambah ngenes wkwk piss.
Oalah lama menghilang ternyata lagi ngabdi di daerah terpencil ya Ga. Semangat! Di tempat gitu harus bisa jaga kesehatan... mungkin juga badan lu lagi menyesuaikan sama kondisi disana jadi harus sakit dulu, lama-lama kebal tuh pasti.
ReplyDeleteCeritain tentang orang-orang sana juga dong... jadi pengen tau. :D
Ngeri juga tinggal di daerah terpencil. Sakit susah, sinyal susah, aduh. Apalah dayaku manusia milenial~
ReplyDeleteMemang ya kalau mau susahnya kehidupan kita harus 'nyemplung' ke tempat yang memaksa kita hidup susah. Alhamdulillah ya Bang udah selamat dan bisa nyeritain ini semua. Gak bisa bayangin dah kalau tiba-tiba pas di tengah sungai kepleset terus kebawa arus gitu ._.
ReplyDeleteEh itu perawat apa siapa sih sebenarnya kok gitu banget xD