Aku tak lagi merasakan lunglai di
tubuhku. Semua rasa lelah yang ku rasakan setelah mengajar di kampus hilang saat aku menginjakkan kaki di rumah. Terutama
saat langkah kaki pertamaku memasuki kamarku dan istriku. Ini adalah rumah yang
sebenarnya. Rumah tempatku kembali dari penat. Tempat dimana sumber
kebahagiaanku berasal.
Malam itu aku tidur menyamping, menghadap ke kanan. Wajah Rani
tepat di hapanku. Wajah yang segar, manis, cantik. Tak pernah berubah dari saat
pertama kali aku menatapnya sedekat ini, tujuh tahun lalu. Ya baiklah,
perubahannya hanya sedikit. Sedikit lebih tembam.
“Kang, apa alasan akang memilihku?” tiba-tiba Rani bersua. Ia tersenyum malu-malu.
Ah, hatiku selalu lumpuh tiap menatap raut wajahnya seperti
ini.
Tangan kiriku melayang, membelai rambutnya. Lalu turun sedikit.
Ibu jariku mengelus-eleus tulang pipinya. “Karna aku butuh didampingi kamu dalam hidupku,” ucapku.
Senyum Rani melebar. Tangannya memainkan
kaus yang ku pakai. Pandangannya merunduk. Aku tahu, itu tandanya Rani sedang
salah tingkah.
“Lalu, kenapa kamu mau menerimaku, di
saat banyak lelaki yang mengejarmu?” tanyaku balik. Tangan kiriku beralih, menggenggam jemarinya. Tangan kananku ku tekuk, kujadikan alas kepalaku, walau bantal
sudah mengalasi kepalaku.
Rani tertawa kecil. Ia menonggak, menatapku dalam. “Karna kamu
paling berani,” jawabnya.
Aku tersenyum. Aku memejamkan mata, mengingat awal mula hubungan
kami ini.
Sudah lama aku menyukai Rani. Sejak kuliah semester
tiga, aku sudah jatuh cinta padanya. Penyebabnya, karna kami sering bertemu di
organisasi kampus. Aku terpana dengan kecantikannya. Kecantikan yang bukan
hanya berasal dari wajah, melainkan juga dari hatinya. Aku suka cara Rani
berpakaian. Wajah Rani terlihat sangat cantik dibalik balutan jilbab panjangnya
yang menutupi sampai pergelangan tangannya. Cara Rani berbicara sangat lembut.
Jika diibaratkan, suara Rani adalah kaset lagu, mungkin kaset itu sudah rusak
karna kuputar berulang-ulang.
Aku sempat patah hati beberapa kali saat mengetahui satu-persatu
temanku juga suka dengan Rani. Bahkan, kakak tingkatku juga menyukainya. Hilang
arah, kusut, tak mau menyapa Rani lagi, pernah ku rasakan. Aku juga berusaha
menghilangkan rasa sukaku padanya. Namun sayang, Rani sepertinya sudah
menganggapku bukan orang asig lagi. Rani menganggapku sebagai teman dekatnya
yang selalu ia tanyai perihal tugas kampus, jadwal kumpul organisasi, sampai tentang
hal lain. Aku tidak bisa menghindar dari Rani. Aku selalu takut tiap
berbincang dengan Rani. Aku takut kembali berharap padanya. Karna berharap pada
Rani sama saja seperti mendaki menara tinggi, dan tiba-tiba aku jatuh ke tanah
bebatuan. Remuk.
Tapi aku senang saat tahu mereka, yang menyukai Rani,
satu-persatu berguguran karna ditolak cintanya oleh Rani. Aku lega sekali Rani
tak menerima satupun cinta mereka.
Tak berapa lama sesudah kejadian itu,
aku percaya pada Rani. Ia akan menjaga hatinya untuk orang yang tepat di waktu
yang tepat kelak. Aku tak berharap banyak padanya, tapi aku tahu, kesempatan
itu masih ada, asalkan aku menjadi sosok yang tepat dan di waktu yang tepat
untuk Rani.
Aku pernah
mendengar teori tentang “Tepat.” Dalam percintaan, pasangan kita
akan mencerminkan siapa diri kita. Jika kita adalah sosok yang baik, maka pasangan kita adalah orang
yang baik pula. Artinya, orang yang baik, akan tepat berpasangan dengan orang
baik pula.
Rani, perempuan lembut yang pandai menjaga hati dan
penampilannya. Religius, itu kata yang tepat untuk Rani. Bagaimana aku menjadi sosok yang
tepat untuknya? Gumam hatiku.
Aku bertekad menjadi sosok religius.
Pada hari itu kami semua wisuda. Kami lulus dan berpisah. Aku
melanjutkan S2 di Solo. Rani mulai mengajar di sekolah di mana ibunya mengajar.
Kami hilang kontak.
Dua tahun berselang, aku lulus S2-ku. Tak
lama kemudian, aku mengajar di kampus almamaterku dulu. Aku memulainya dengan
sedikit susah payah. Tahun pertama aku hanya menjadi asisten dosen dengan
bayaran yang sama dengan mahasiswa yang menjadi asisten dosen juga. Rasa malu
sempat membelit pikiranku. Bagaimana tidak, mahasiswa S2 satu derajat dengan mahasiswa
yang bahkan belum lulus S1.
Aku perkuat niatku. Tidak ada awal yang mudah. Membangun karir
itu seperti mengayuh becak berpenumpang penuh di jalan menanjak yang berbatu.
Aku sengaja memberikan perumpamaan seperti ini supaya benar-benar terasa sensasi
berat, sakit, dan penuh keputusasaannya.
Aku pernah dinasehati
oleh kakak sepupuku. Ia honorer di kecamatan setahun tanpa bayaran sepeserpun.
Tak ada uang bensin sekalipun. Murni ongkos sendiri. Sampai akhirnya satu tahun
berselang, ia diangkat menjadi pegawai negeri.
Dan kesabaranku berbuah hasil. Setahun berselang, aku mulai
memproses namaku di DIKTI sebagai dosen tetap di kampusku. Jam mengajarku mulai
bertambah. Aku mendapat bayaran yang setimpal sebagai dosen tetap. Namun tanpa
adanya tunjangan istimewa khusus dosen tetap di kampus. Buatku, itu kemajuan
yang pesat.
Rani. Bagaimana kabar Rani? Aku sudah lama tidak berkomunikasi
dengannya. Aku hendak menghubunginya lewat SMS, namun... aku belum siap.
Sejak saat itu aku memenej uang sebaik mungkin. Aku bagi sekian
persen untuk ibu dan bapak, sekian persen untuk biaya kuliah dan jajan adikku,
sekian persen untuk keperluanku sehari-hari, dan sisanya kutabung untuk biaya
nikah.
Menikah?
Iya, aku hendak menikah. Namun aku belum
punya calon. Ah, biarlah. Itu urusan gampang. Yang terpenting adalah modal menikahnya terlebih dahulu. Terdengar menggelikan memang. Jika orang pada umumnya
berpacaran dulu dengan calonnya, lalu menabung untuk nikah, lah aku malah
mempersiapkan nikah dulu, baru cari calon.
Setahun sudah berlalu. Siang itu, aku menemui Rani di
kediamannya. Tujuanku untuk... mengatakan perasaanku padanya. Aku rasa ini
waktu yang tepat. Dan semoga, aku juga sosok yang tepat.
“Rani... kamu sedang dekat sama siapa?” tanya ku padanya setelah
cukup lama kami ngobrol ngalor-ngidul.
“He?”
“Ma-maksudnya, kamu sudah punya calon?” kataku rancu. Aku gugup.
Jantungku bergetar hebat. Seperti piston mobil dalam kecepatan 300km/jam
Rani terlihat bingung, ia menaikan.
“Calon suami maksud saya,” oh tidak. Aku sepertinya menggunakan
kalimat yang terlalu frontal.
Rani menggelengkan kepalanya.
I-itu pertanda “belum.” Rani belum punya calon suami! Aku senang
bukan kepalang.
“Kenapa?” Rani balas bertanya.
“Saya tertarik sama kamu.”
“Lalu?” Sial. Rani hanya membalas demikian.
Aku memikirkan tabungan pernikahanku. Kupikir-pikir sepertinya
sudah cukup. “Saya mau serius sama kamu. Kamu ada waktu kapan? Saya ingin
memperkenalkan keluarga saya dengan keluargamu. Itung-itung silaturahim,
muehehe.” Entah kenapa ada kata “muehehe” di akhir kalimat. Ah aku merasa
bodoh.
Beberapa hari kemudian, keluarga kami bertemu. Kami menetapkan
tanggal pernikahan. Tiga bulan semenjak itu, kami resmi menjadi suami istri.
Saat itu sampai sekarang aku merasa menjadi suami paling
beruntung di dunia, memiliki Rani sebagai istriku. Aku butuh Rani untuk
mengingatkanku ibadah, mengingatkanku mendidik anak-anak dengan baik,
mengingatkanku menjadi figur teladan dalam keluarga kecil kami. Aku percayakan
pada Rani untuk mengingatkanku. Untuk sama-sama melangkah menyusuri hidup, yang
nantinya akan ada hidup sesudah ini.
“Hey, lelaki paling berani sedunia!” suara Rani
membuyarkan flashback-ku.
Aku membuka mata. Senyum Rani masih mengembang. Aku menjawab,
“Iya, teman hidupku!”
Rani tak menjawab apa-apa. Kami masih saling bertatapan.
Aku jadi flashback lagi,
Rani pernah cerita. Setelah kami menikah, kami banyak bercerita tentang hal yang
belum pernah saling kami tahu sebelumnya. Aku menceritakan saat awal aku suka
padanya di semester tiga. Juga cerita tentang teman-temanku yang naksir
padanya. Kami tertawa geli.
Rani juga cerita, sampai saat sebelum aku menyatakan rasa suka
di rumah Rani, Rani sempat “ditembak” beberapa kali oleh lelaki.
“Kamu mau jadi pacar aku?” kata seorang lelaki kala itu.
“Iya, mau,” jawab Rani. Lelaki itu terlihat senang bukan main. Tak berapa
lama Rani bertanya, “Jadi, kapan kita mau menikah?”
“He? Kita baru aja pacaran!” lelaki itu tampak heran. Mungkin
dia belum memikirkan pernikahan.
“Yauda kita putus aja. Aku enggak bisa main-main,” jawab Rani
sambil berlalu. Iyah, Rani sempat pacaran dengan lelaki itu, walau beberapa
detik saja.
Kami terbahak saat Rani menceritakan kejadian itu dulu.
Rani beranggapan lelaki seperti itu adalah lelaki yang payah.
Mereka bukan lelaki pemberani. Menurut Rani, lelaki yang berani adalah bukan
cuma mau mengajak berpacaran, tapi juga mau menetapkan tanggal pernikahan.
Aku membuyarkan lamunanku saat Rani menggaruk lembut
rambut-rambut lebat di dagu dan rahangku, “Happy seventh anniversary, Kang... I
love you as always,” ucap Rani yang membuatku kembali senyum lebar. Gigiku yang
tak rapih ini pasti nongol tanpa kompromi.
Aku menggosok-gosokan telunjukku ke kulit di bawah hidungku.
Terasa gatal, walau tak ada kumis sama sekali di situ.
“I love you too, sayang.”
Malam itu adalah tujuh tahun perayaan pernikahan kami. Ini
ritual yang aneh. Tiap di tangal bertepatan dengan pernikahan kami, kami selalu
kembali mengingat-ngingat awal pertemuan kami. Kami saling melontarkan
pertanyaan yang sama, yakni “Kenapa kamu memilih aku?”
Yah,
demikianlah cerpen sok imut yang gue tulis entah berapa tahun lalu. Gue sengaja
posting lagi supaya tambah rame gitu ni blog.
Okey, feel
free to write your comment below! Share the inspiration. See yaa...
jadi tahu nih lika likunya, heeeee
ReplyDeletewaaaahhh romantisnya, patut di contoh juga nih tauladannya ...
ReplyDeletewkwkwkwk
Wah.... Mantap jiwa perjalanan hidupnya...
ReplyDeleteJadi ngiri, udah S2 pula... Ajarin kunci belajar bahasa Inggris dong? Saya pengen cepet-cepet ingin bisa buku teks books Bu English language..
Ini cerpen, Om. Bukan asli. Coba baca akhirnya, ehe. Ane sih masih baru lulus S-1. Belum S-2. Ehe.
ReplyDeleteBacanya jadi gimana ya, salah gak, sih, kalau wafer, eh, baper..hehe..
ReplyDeleteSerasa suatu saat nanti akan seperti itu. Benar-benar lika liku banget, dan, baca sampe akhir ikut senang.
Semoga terus bisa harmonis ya.
Meskipun cerpen tapi aku mrasa memang ada orang yg ngrasain gini..he
DeleteAku smpe mkirin juga, pdahal nikah mah belum..hehe
cuma satu kata yang cocok setelah aku baca cerita ini " speechless " :')
ReplyDeleteromantis banget ya
aduuuhhh ni cerpen kelewat romantis, over romantis, jadi iri :( bang ayok bang nikahin aku bang :( tanggung jawab ih
ReplyDeletetapi kalo difilm in bagus lho ini, asal ga dibuat berlebihan aja misalnya sampe "kenapa memilihku 9" terus tahun depan "kenapa memilihku 10" dst sampe simbol indosiar berubah jadi ikan asin
Rani memilih cowok karena berani, kalo itu tipe kamu aku mundur. Sebagai cowok yang lemah, aku bisa apa~
ReplyDeletepasa mbaca dari awal sampai akhir aku kira ini cerita tentangmu mas, tapi di akhir ada kata cerpen sok imut.
ReplyDeleteapa jangan-jangan ini cerita tentangmu mas? eh gaj tahu juga deng tapi ya ceritanya bagus banget, bener juga sih terkadang pacarannya sama dia tapi nikahnya sama orang lain, yang berani ngajak nikah duluan.
Anjritt terakhirnya patah banget bikin ngakak hahaha
ReplyDeleteGue kira itu cerita lo, romantis banget wahaha. Pas awal-awal baper sih, kenapa akhirannya bikin ngakak "Yah, demikianlah" berasa pasrah atau gimana gitu wkwkwk
Suka sekali sama ceritanya, sederhana tapi hangat.
ReplyDeleteTerlalu romantis sampe nggak bisa komen apa-apa ini... tujuh tahun dan tetap indah. Memang jodoh itu selalu datang dan dengan orang yang tepat
Serius nih. Gue suka sama cerita ini. Karena ya waktunya tepat, gue juga pengen kayak gitu. Tapi belum berani ngasih tanggal nikah. Ah payah! Haha
ReplyDeleteDuh antara baper sama laper ini gue baca cerita ini sampe lupa waktu ya. kebawa suasana. Kereen lah ini. Ternyata kalo emang jodoh mah gak akan kemana ya.
ReplyDeleteWalopun ini cuma cerpen. Huehehe.