Gue benci dengan perpisahan. Karena gue
selalu pengen nangis tiap berpisah. Cengeng
memang. Namun gue belajar dari sebuah perpisahan, bahwa hal yang kita miliki
sekarang sesungguhnya begitu berharga. Kita tidak akan benar-benar
menyadarainya sampai kita harus berpisah dengannya.
“Anak-anak,” teriak gue di kelas 7E.
Seluruh peserta didik diam
mendengarkan gue yang akan bicara. Entah mengapa hari itu mereka lebih bisa
dikendalikan. Padahal sehari-hari kelakuan mereka begitu brutal dan bikin gue
emosi.
“Besok dan seterusnya bapak tidak
mengajar kalian lagi,” ucap gue.
“Hah? Kenapa Pak?” tanya seorang
murid, Sidya namanya. Dia murid yang
tenang dan pintar.
“Tugas bapak sudah selesai,” ucap gue
dengan wajah cool.
“Yah bapak marah sama kita?” ucap Aziz.
Dia anak paling caper di kelas dan
paling sering nyeletuk.
“Tidak, Aziz,” jawab gue.
“Yahh, kenapa enggak ngajari lagi,
Pak?” kini tanya Maria. Dia juga anak yang pintar.
Etdah
kan gue udah bilang tugas gue udah selesai.
Gue udah selesai praktik ngajar di sini, kata
gue dalam hati, begitu geregetan.
“Datang
akan pergi.. lewat kan berlalu .. ada kan tiada bertemu akan berpisah .. awal
kan berakhir..” tiba-tiba Azi menyanyikan lagu Sampai Jumpa-nya Endang
Soekamti.
Tak lama kemudian anak-anak satu
kelas ikutan nyanyi, “Hey, sampai jumpa
di lain hari... untuk kita bertemu lagi... ku relakan dirimu pergi...”
Sialan,
kata
gue. Entah kenapa mendengar lagu ini gue jadi sedih. Jangan sampai gue nangis
di kelas ini. Apalagi gue lihat-lihat murid tidak ada satupun yang kelihatan
ingin nangis. Jangan sampai gue yang nangis sendirian.
Semua anak ikut bernyanyi dengan
kompak, walaupun di telinga orang lain suara mereka sama sekali enggak merdu. Cenderung
membuat telinga berdarah. Namun entah mengapa di telinga gue, saat itu suara sumbang
mereka terdengar indah, begitu syahdu
sampai gue sedih.
“Baik lah nak. Sampai bertemu lagi,”
ucap gue.
Gue melangkahkan kaki ke luar kelas. Anak-anak
berlarian menyerbu gue. Mencium tangan gue untuk yang terakhir kalinya. Sial,
mata gue panas.
Setelah dari kelas 7F, gue juga masuk
ke kelas 7D untuk perpisahan.
“Anak-anak, besok dan seterusnya
kalian akan diajar oleh Bu Amini. Bukan sama
bapak,” ucap gue pada anak-anak kelas 7D.
“IHHH Bapakkk!” teriak seorang siswa.
Melani namanya. Dia sedang duduk di kursi paling belakang, kemudian ia berdiri.
“ENGGAK MAUUUU!” teriaknya sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Kemudain
dia berlari ke depan dan duduk di meja paling depan tepat di hadapan gue.
Terus terang, gue takut melihat tingkah
Melani. Gue serasa dimarahin sama murid.
“Enggak mau bapak kalo bukan sama
bapak!!” teriak Melani.
“Mau sama mister aja ah,” sahut murid
lainnya. Namanya Wanda. Dia murid laki-laki
yang paling lucu.
Gue enggak bisa jawab apa-apa. Gue perhatikan
seluruh siswa di kelas pada diam menatap gue.
Gue kembali mengingat bagaimana
pertama kali gue masuk ke kelas ini. Awalnya mereka begitu manis. Mereka penurut.
Pintar-pintar pula. Namun lama-kelamaan mereka bertingkah. Selama pembelajaran
selalu ribut. Setiap gue mengajar, gue hampir kehabisan suara karena harus
teriak-teriak. Barulah saat itu gue sadar mereka begitu menyebalkan. Sangat menyebalkan.
Gue males tiap masuk kelas ini. Namun sekarang gue harus berpisah sama mereka. Semua
hal yang menyebalkan dari mereka justru berubah menjadi hal yang paling
menyenangkan bagi gue. Menjadi hal yang paling gue rindukan kelak.
“Pak, jangan lupain Dinar yah,”
tetiba ucap seorang anak yang lain. Namanya
Dinar. Dia anak yang pandai.
Gue mengangguk. “Yaudah yah, besok
belajar sama Bu Amini,” ucap gue lagi.
“Yahhh....” kelas kembali ribut. Anak-anak
kembali protes karena enggak mau gue selesai mengajar di sini.
Sialan,
kembali
ucap gue dalam hati. Melihat wajah memelas mereka karena enggak mau gue tinggal
jadi bikin mata gue panas. Kalau kelamaan di kelas ini, gue bisa mewek.
Kemudian gue pun pergi meninggalkan
kelas setelah tangan gue menjadi rebutan mereka untuk dicium.
Akhirnya berpisah. Kegiatan praktik
mengajar, atau biasa disebut PPL, berakhir sudah. Cukup lama, selama tiga
bulan. Namun kalau diingat, rasanya hanya sekejap.
Akhirnya berpisah. Gue kembali merasa
sedih dan gelisah. Berpisah dengan murid-murid yang begitu berarti, yang baru
gue sadari sesaat sebelum meninggalkan mereka.
nanti juga bertemu dilain waktu dan dilain kesempatan pak guru
ReplyDelete