Thursday 25 June 2015

Sniper Elite

Share it Please


Seorang tentara sedang merunduk di balik tembok besar. Senjata laras panjangnya mengarah ke persimpangan jalan yang akan dilewati anggota militerku. Aku memerhatikannya dari balik lensa senapanku. Dari puncak gedung yang tak beratap ini aku siap membidiknya. Lobang tembok seukuran lima belas senti meter ini memungkinkanku untuk menembaknya sekaligus membuatku tak terlihat oleh musuh. Aku mengarahkan titik tembak ku tepat ke nadi lehernya. Tujuannya agar dia langsung mati. Sekali tembak, nadinya akan pecah. Dia akan kehabisan darah dan tewas dalam waktu lima menit.

Aku sengaja membidik nadi lehernya, karna kepalanya dilindungi helm tembaga keras. Hanya senjata berkaliber besar yang mampu menembus tengkorak kepalanya.

Aku masih dalam posisis tengkurep. Bidikanku masih tak bergeser dari lehernya. Dari lensa berpembesar 100 kali lipat ini aku melihat jelas lehernya yang mulai berkeringat. Detak nadi lehernya terlihat bergerak cepat. Nadi yang sebentar lagi akan putus oleh peluruku.

Tak banyak bagian tubuhnya yang bisa ku tembak. Posisisnya agak sulit. Dia agak menyamping membelakangi ku.

Aku akan menembaknya begitu waktunya tepat. Jika terlalu cepat, regunya akan tahu karna mendengar suara senapanku. Mereka akan menghampirinya lalu mencariku. Bisa dipastikan aku akan habis dibunuh regunya bila aku tanpa back up. Aku akan menembaknya tepat ketika reguku lewat di perlintasan. Mereka akan melindungiku.


Tentara itu mulai bergerak. Dia mencari posisi agar tidak terlihat dari sisi perlintasan.  Aku melihat ke perlintasan dari balik lensa senapanku. Ada debu yang bertebaran di jalan. Ini pertanda pasukanku tiba. Aku kembali mengarahkan senapan ke target. Aku siap menarik pelatuk senapan jarak jauh ku. Dari jarak sejauh 500 meter ini, aku siap melumpuhkannya.

Aku menghitung waktu. Menunggu saat yang tepat untuk membunuhnya. Menarik nafas dalam dapat membuatku lebih fokus. Aku pun menghirup dan mengeluarkan nafas panjang. Sedikit ku merasakan keringat mengalir pelan di pelipisku.

Tentara itu bergerak. Dia keluar dari balik gedung tempat persembunyiannya. Reguku muncul melewati perlintasan. Tentara itu mengarahkan senjatanya. Dia segera menembak reguku.

DUAARRRR...

Tentara itu terkapar di tanah. Darah segar mengalir dari lehernya membasahi tanah pertempuran yang gersang. Bidikanku tepat ke nadi lehernya. Aku melihat peluruku membuat lubang di tembok dekat jasadnya. Hemh, peluruku menembus lehernya sampai bolong.

Reguku bergegas menghampiri tentara yang sudah lumpuh itu. Mereka memeriksa apakah dia sudah mati.

Tak lama, regu musuh muncul dari sisi jalan lainnya. Jumlah mereka lima belas orang, sedangkan reguku hanya tujuh orang, termasuk aku. Masing-masing mereka membawa senjata semi-mesin.

Pertempuran pecah. Baku tembah tak dapat lagi dihindari.

Mataku kembali masuk ke lensa senapan. Aku membidik mereka satu persatu.

Satu tentara musuh lumpuh setelah peluruku bersarang di matanya. Aku cukup mendapat ruang tembak dari arah depan. Dalam pertempuran langsung seperti ini, aku bebas membidik. Tiap bidikanku tidak harus langsung membunuh target, tapi bisa dengan melukainya berkali-kali sampai dia mati.

Aku kembali melepaskan peluruku. Kali ini bersarang di kaki seorang tentara musuh. Dia terkapar kesakitan. Dia meregang, berteriak sambil memegangi kakinya. Posisinya jadi terlihat bebas dari persembunyiannya. Reguku menghabisinya dengan gempuran peluru. Dia pun mati.

Setelah melewati pertempuran yang cukup panjang, akhirnya tinggal satu musuh yang tersisa. Dia bersembunyi di balik tembok gedung. Dia tidak terlihat oleh reguku. Aku pun agak kesulitan melihatnya. Hanya tumit kakinya yang nampak dari balik tembok persembunyannya.

Aku mengarahkan senapanku pada satu-satunya bagian tubuhnya yang terlihat itu. Tumitnya terlihat begitu menggoda untuk ditembak. Aku mengokang senapanku. Bidikanku tepat di tumitnya.

DUAAARRR...

Peluruku tepat mengenai tumitnya. Dia terlihat kesakitan sambil terkapar. Posisinya sedikit terbuka. Kini aku bisa melihat bagian paha sampai kakinya. Dia meronta-ronta. Aku mengokang kembali senapanku.

DUAARRRR...

Aku melepaskan peluru kedua ke dengkulnya. Dia terlihat makin kesakitan. Namun, dia masih begerak. Karna meronta-ronta, posisinya kembali terbuka. Kini bagian tititnya dapat ku lihat.

DUAARRR...

Sesaat kemudian tubuhnya langsung kaku. Peluru ketigaku mengenai... tititnya.

Tugas hari itu selesai. Aku dan reguku kembali ke markas. Satu reguku terkena tembak di lengan kirinya. Walau dia terluka, dia bisa selamat. Siang itu, kami melaporkan hasil operasi kepada komandan di markas.

Kemaren gue nonton American Sniper. Eh kepikiran bikin cerpen tentang sniper. 

6 comments:

  1. Haha imajinasinya boleh juga nih, ditambah dengan kesan duar duaar membuat tulisan ini berada di medan perang yang berkecamuk. :3

    Ngomong soal snipper, film Shooter [2007] juga keren juga bang bro!

    ReplyDelete
  2. keren

    eh, menurutku masih ada penempatan kata 'ku' yang salah tuh
    imbuhan 'di' juga masih belum tepat kayaknya

    ada beberapa typo

    oh ya

    tengkurap atau tengkurep ya

    ReplyDelete
  3. Wah, emang jago deh orang-orang yang bikin cerpen dari film gini. Penggambarannya pas.

    Film Fury juga bagus lho.. temanya juga perang, tembak-tembakan gitu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin bagian yang bikin ngeri itu oas ditembakin nadinya samoai tembus, gimana ya rasanya.

      Delete
  4. terinspirasi dari american sniper jadinya ya..
    sadis juga, sampe bolong gitu lehernya. itu bagus kayaknya american sniper. banyak temen gue yang bilang keren, tapi gue sendiri belum sempet nonton. hmm...

    ReplyDelete
  5. Keren nih, agak serem juga sih tapi. Soalnya aku bacanya sambil membayangkan kejadian saat itu. Serem banget kalo lihat yang ketembak sampe bolong lehernya. Apalagi yang terakhir. Sakit banget dia. Tiga kali tembakan dan yang terakhir di.... titit. Kejam.

    ReplyDelete

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter