“Mas?” kata Nana dari belakang.
“Iya?” jawab gue sambil memalingkan
pandangan ke kaca sepion. Melihat pantulan wajah Nana di dalamnya.
“Mas mau bojo yang kayak gimana?”
tanya Nana.
“...”
“Mas, kok diem? Nanti aku ngantuk,”
protes Nana setelah pertanyaannya enggak gue gubris.
“Bojo’ tuh apa sih?” tanya gue yang
sebenarnya bingung apa itu “Bojo.”
Nana ketawa di balik masker motor
yang ia kenakan. “Istri.’ Itu Bahasa Jawa.”
Gue manggut-mangggut.
Kemudian Nana menjelaskan bahwa ‘bojo’
bisa berarti istri atau suami.
Nana adalah perempuan Jawa tulen.
Saat kami ngobrol, Nana suka keceplosan menggunakan Bahasa Jawa. Seperti “menggok,”
“nggih,” atau “bojo.” Aksen Jawa Nana juga begitu kental, bahkan saat ia sedang bicara
Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, Nana ini ngapak banget. Pelafalan huruf
“D,” dan “K”-nya medok. Gue pernah mencoba menirukan bahasa ngapaknya Nana.
Namun gue gagal total. Bahasa ngapaknya sungguh sulit untuk ditiru.
Sore itu langit nampak mendung. Gue
berkendara di atas motor, membonceng Nana sepulang mengajar. Kami sedang
menjalankan praktik mengajar, biasa disebut PPL. Entah apa penyebabnya
tiba-tiba sore itu Nana menanyakan gue mau istri yang seperti apa kelak. Terus
terang, gue juga bingung mau yang seperti apa.
“Hmm... kalo kamu?” Gue malah
bertanya balik. “Kamu mau bojo yang seperti apa?”
Continue Reading...