Friday 1 April 2016

Barangkali Luka di Hati sama seperti Luka di Jari

Share it Please


“A..., tolong kupasin kelapa!” teriak nyokap dari dapur. Gue adalah anak pertama dan gue adalah Orang Sunda. Itulah mengapa nyokap memanggil gue, ‘A,’ yang berarti ‘kakak.’

Gue lagi asik gogoleran nonton FTV di ruang tengah. Maklum, gue masih pengangguran, jadi kerjaan gue nonton FTV untuk nyari inspirasi.  Gue baru kerja part-time ngajar di bimbel. Full-time-nya gue nganggur di rumah, nonton FTV.

“Iya, Mah. Sebentar, A’a lagi nonton FTV dulu,” jawab gue kala itu.

“Cepetan! Mamah mau masak sayur lodeh nih pake santen!” teriak nyokap gue lagi.

Ini yang ngeselin. Nyokap tuh enggak toleransi banget sih. Gue lagi asik nonton FTV, eh malah disuruh ngupas kelapa. Mana adegannya lagi seru lagi. Di TV nampak pemeran cowok lagi nembak pemeran cewek, terus mereka pelukan. Adegan tersebut sungguh indah, beda banget dengan realita yang mana kalo cowok nembak cewek bukannya pelukan, malah digantung berminggu-minggu.

“I-iyah, sebentar, Mah. Nuggu iklan, nih!” teriak gue ke nyokap.

Enggak ada teriak balasan dari nyokap. Hening.

Asik, gue terusin nonton FTV. Setelah cewek dan cowok itu pelukan, mereka tatap-tatapan. Wajah mereka makin mendekat satu sama lain. Si cowok memiringkan kepala 20° ke kiri. Mata si cewek terpejam. Bibir mereka berdekatan. Lalu mereka... gelap. Tiba-tiba TV gue menjadi gelap.

“KUPAS KELAPA SEKARANG!” teriak nyokap yang tiba-tiba ada di sebelah TV sambil memegang kabel TV yang sudah copot dari saklarnya. “CEPET!” kata nyokap sambil memutar kabel TV  seperti cowboy.


Gue langsung ngacir ngambil golok untuk ngupas kelapa.

Karna takut ketinggalan adegan FTV yang lagi seru itu, gue ngupas kelapa dengan kecepatan tinggi.

“Hiyat, ciat!!” teriak gue sambil mengayunkan golok ke kelapa. Setelah terkelupas seluruhnya, gue mengeruk daging kelapa untuk memisahkan dari batoknya.

Namun sayang seribu sayang, karna gue melakukannya buru-buru dan cenderung sembronoh, golok yang tajemnya melebihi perkataan dosen penguji sidang skripsi ini menggores ibu jari kiri gue. “Ahhh... uhh” erang gue spontan karna kesakitan.

Jempol kiri gue luka. Kecil sih, mungkin cuma sepanjang dua centimeter, namun darahnya ngucur enggak berhenti.

Darah gue megucur deras. Gue hanya bisa terdiam terpaku melihatnya. Baru kali ini gue melihat darah ngucur sederas ini dengan mata kepala sendiri. Selama ini gue hanya melihat darah di sinetron ketika adegan pemeran utamanya bunuh diri dengan menyayat urat nadinya. Kini, gue melihat darah ngucur di kehidupan nyata. Ini real life!

Warnanya merah tua. Bentuknya sangat kental. Baunya amis. Darah gue setetes-demi setetes bercucuran ke tanah dengan cepat. Lama kelamaan aliran darah itu berhenti dengan sendirinya dan menjadi lengket kayak Betadine. Terdapat gumpalan darah di tempat lukanya. Gue inget, ini adalah trombosit yang berfungsi sebagai penahan aliran darah saat pembuluh darah pecah. Trombosit membentuk fiber yang mencegah darah mengalir terus-terusan. Seinget gue sih gitu tentang pelajaran Biologi selama SMA dan SMP.

Sesaat ketika golok itu menyayat jempol gue, gue enggak merasakan sakit apa-apa. Malahan gue cuma bengong merhatiin darah gue yang mengucur. Namun setelah agak lama, tepatnya saat darah mulai membeku, barulah gue merasakan perih yang amat sangat.

Seminggu kemudian luka gue mulai kering. Luka ini butuh waktu untuk sembuh. Selama luka ini masih basah, gue jadi susah ngapa-ngapain. Tiap gue wudhu, ni luka selalu perih kebasahan. Saat gue neken remot buat mindahin chanel TV, jempol gue senut-senutan. Tiap kali gue cebok, jempol gue juga perih kebasahan. Hari-hari gue jadi enggak sempurna.

Setelah jempol benar-benar sembuh, di sana ada bekas luka. Sebuah garis melintang horizontal di jempol gue. Warnanya merah muda agak keungu-unguan, namun berwanra cokelat kehitaman di bagian ujungnya. Jempol gue enggak bisa kembali seperti semula. Bekas luka ini bakalan membekas selamanya. Ini menjadi pertanda bahwa jempol gue pernah terluka.

Setelah gue pikir, luka di ibu jari ini enggak beda jauh yah dengan luka di hati.

Saat pertama disakiti, gue enggak merasakan apapun, tapi setelah beberapa lama kemudian, baru lah terasa sakit luar biasa. Selama luka di hati belum kering, gue juga jadi susah ngapa-ngapain. Gue mau makan, tapi nasi jadi terasa hambar. Gue mau tidur, tapi hati masih panas dan gelisah rasanya. Gue mau nonton FTV, tapi malah cuma bikin keingetan. Hari-hari gue jadi enggak sempurna. Luka di hati juga butuh waktu untuk sembuh.

Dan ketika luka hati itu sudah sembuh, akan ada bekas. Bentuk hati gue enggak sama lagi dengan sebelumnya. Bekas luka itu akan menetap di sana selamanya. Ini menjadi pertanda bahwa hati gue pernah terluka.


Ehm... barangkali... luka di hati sama seperti luka di jari.

No comments:

Post a Comment

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter