Wednesday 5 July 2017

Begini Rasanya Sakit di Daerah Terpencil

Share it Please



Saat ini gue tinggal di Nias Selatan. Gue bertugas sebagai guru bantu dari pusat untuk mengajar di sekolah-sekolah yang masih kurang. Baik kekurangan guru, kurang baik dalam admisnistrasi, atau sulit dijangkau. Daerah penempatan kami  sungguh jauh dari peradaban. Gue pun ditempatkan di daerah yang sungguh sulit ditinggali. Di sini enggak ada listrik, susah sinyal, jalan pun hancur. Karna jalan hancur, banyak daerah yang cuma bisa dicapai dengan jalan kaki. Enggak bisa dilewati kendaraan. Medan perjalananpun enggak bisa dibilang gampang. Kontur jalan di sini perbukitan. Sering banget gue harus nanjak ke bukit untuk menuju kampung sebelah. Gue nyaris pingsan saat harus naik-naik ke puncak bukit menghadiri acara syukuran teman guru kala itu.


Di daerah terpencil gini gue rentan sakit. Mungkin karna belum terbiasa hidup sepreaktis di Jawa. Dimana mau beli makanan tinggal ke Indomaret, mau hiburan tinggal ke warnet. Sekali waktu gue jatuh sakit. Demam. Badan gue rasanya menggigil. Tulang-tulang serasa ngilu semua. Mata gue perih. Enggak mampu membuka mata lama. Gue cuma bisa tidur. Berbaring lemah di kamar.

Gue harus ke puskesmas. Jangan sampai demam ini berlarut-larut. Gue enggak mau berakhir di sini. Dengan sempoyongan gue jalan ke puskesmas desa. Orang-orang di sini menyebutnya rumah sakit.

Perjalanan ke puskesmas cukup menantang. Jalannya tersusun dari bebatuan kali yang cadas dan gue harus menyebrangi satu sungai. Kalian jangan pikir nyebrang sungai di sini sama dengan nyebrang sungai  di Jawa yang bisa lewat jembatan. Gue harus bener-bener nyemplung ke sungai karna di sini jembatan hanyalah mitos. Gue bergerak dari sisi sungai sini ke sisi sungai di sebrang sana. Untungnya kedalaman sungai hanya sebetis orang dewasa.

Akhirnya gue sampai juga di puskesmas yang berjarak 1 km dari rumah.

“Sakit apa, Bang?” tanya seorang perawat. Di sini enggak ada dokter. Yang ada cuma perawat.

“Demam,” jawab gue enggak bergairah.

“Oh, sudah berapa lama?”

“Dari kemarin.”

“Sebentar yah, pinta perawat itu.

 Gue menunggu dia dengan jantung berdebar-debar seolah menunggu jawaban cinta dari gebetan.

Okeh lebay!

“Nah, ini obatnya.”

“I-ini udah gini ajah?” tanya gue keheranan.

“Iyah.”

Lah, gue cengok. Gue dateng, ditanya sakit apa, terus langsung dikasih obat. Gue kira bakal diminta nulis nama di kartu pasien, terus diperiksa tekanan darah gitu, atau di periksa detak jantungnya pakai stetoskop. Tapi ternyata enggak.  

“Ini. Ini obatnya, Bang,” ucap perawat tadi sekali lagi.

Gue menerima obat dalam keadaan linglung. Aturan minum obatnya pun enggak tertera di sama. Ini gimana aturan minumnya, kata gue membatin. Obat-obatan yang perawat berikan enggak dibungkus plastik sama sekali. Biasanya di plastik itu lah ada aturan makan dengan ditulis “3 X 1,” atau “2 X 1.”  Gue menatap obat itu lamat-lamat yang hanya dalam lembaran strip.

“I-ini gimana aturan minumnya?” tanya gue.

“Yang ini tiga kali sehari. Ini dua kali sehari,” katanya mengira gue seorang jenius yang bisa hafal dengan sekali bilang.

“Boleh pinjam pulpen?” Tanya gue. Daripada lupa di kemudian hari, gue berniat mencatat aturan minumnya di lembaran stripnya langsung pake pulpen.

“E-enggak ada, Bang.”

“Haduh!” gue pasrah.

Gue pulang dengan terus mengucapkan aturan minum obat, “Ini tiga kali sekali, ini dua kali sehari.” Supaya hafal. Selain itu, tangan gue menenteng dua strip obat tanpa pelastik. Udah kayak beli permen.

Beberapa hari kemudian, gue sembuh. Demam gue berangsur hilang. Badan rasanya segar. Mata gue sudah enggak perih lagi. Berbulan-bulan gue lalui dengan sehat walafiat. Namun, tibalah di saat tangan gue bentol-bentol berair kayak alergi. Awalnya biasa ajah. Lama-kelamaan terasa gatel. Makin gue garuk, makin gatel dan cenderung panas. Lama-lama menjadi luka dan malah korengan. Ngeri.

Gue kembali ke puskesmas.

“Iiih,” perawat itu nunjukin muka yang agak jijik. “Sudah berapa lama?”

“Tiga hari,” jawab gue sambil menatap lemah tangan gue yang banyak nanahnya. Basah. Jelek. Bau amis. Ihh.

“Ini obatnya,” kata perawat langsung menyodorkan amoxicillin, asam mefenamat, dan grisofulvin.

Gue lihat sekitar, ada anak yang kakinya luka digigit anjing. Dia dikasih amoxicilin dan asam mefenamat juga. Ada seorang bapak yang tangannya bisulan, juga dikasih obat yang sama. Ini gue mikir apa semua orang yang sakit berobat ke sini bakal dikasih amoxicillin dan asam mefenamat semua apa gimana!

Masa bodo. Yang penting gue udah dapet obat dan pengen segera gue minum. Gue pulang ke rumah dan sembuh dalam tiga hari. Ajaib!

Namun enggak begitu lama, penyakit gatal-gatal gue itu kambuh lagi. Gue kembali ke rumah sakit, yang sebetulnya ini puskesmas. Gue bertemu dengan perawat yang berbeda dengan pertama kali gue berobat.

“Waktu itu dikasih obat apa, Bang?” tanya perawat yang baru.

“Ha?” gue heran.

“Iyah, dikasih obat apa waktu berobat tangan ini sebelumnya?”

“A-amoxicillin, griselofulvin, dan asam mefenamat.”

“Oh,” sesaat kemudian perawat itu memberi gue obat yang gue sebutkan.

Ini kenapa malah gue yang ngasih tahu obat ke dia. Lah. Bukannya dia, si perawat, yang tahu obat apa yang harus gue minum. Absurd sumpah.

Tangan gue sembuh namun lagi-lagi kambuh. Gue enggak tahu ini penyakit apa. Gue berobat lagi dan dikasih obat yang sama namun kambuh lagi. Mungkin hanya ada obat itu di puskesmas. Obat untuk semua penyakit.

Di tempat terpencil ini memang sulit. Kalau sudah sakit, semua jadi rumit. Puskesmas yang layak jaraknya jauh. Yang ada hanya puskesmas yang tiap orang berobat dikasih antibiotic amoxicillin mulu. Belum lagi medan jalan yang harus dilalui dengan susah payah. Bayangin, orang sakit mesti nyemplung ke sungai untuk nyebrang. Buat mereka yang rumahnya di puncak bukit, mereka harus menuruni bukit curam untuk pergi berobat. Sungguh perjalanan yang menantang bagi orang sakit untuk berobat di sini.

Selain itu, di sini gue jauh dari orang tua. Saat sakit jadi lebih terasa betapa gue tergantungan sama orangtua. Bukannya gue lemah atau manja. Saat gue sakit, entah kenapa rasanya butuh orang yang merhatiin. Seenggaknya ngingetin minum obat. Karna yang namanya sakit jangankan gerak minum obat, ngebuka mata ajah rasanya berat. Perih aja gitu mata. Nafas panas memburu.

Namun gue bersyukur. Selama sepuluh bulan ini gue mampu lewati sehat-sakit gue. Saat sakit, gue paksakan diri untuk sembuh. Gue rutin minum obat teratur, walaupun ini berat. Gue makan dengan teratur. Gue pengen sembuh. Gue harus sehat. Gue akan kembali ke Jawa dan bertemu orang tua dan keluarga di bulan ke duabelas nanti.

Hidup selama hampir setahun penuh di daerah terpencil membuat gue lebih bersyukur. Sewaktu gue di Jawa apa-apa gampang. Berobatpun gampang dan berkualitas. Sedangkan di sini harus gue survive untuk sehat terus. Harus lebih jaga kesehatan. Karna kalau udah sakit, semua jadi rumit.

Well, this is the end of the post. Feel free to write your comment below!

Keep healthy guys!

4 comments:

  1. Begitulah mas hidup di Desa, apalagi desa yang hmm ya begitulah.
    Ohya cepet2 cari yang bisa merhatiin pas lagi sakit biar ngga tambah ngenes wkwk piss.

    ReplyDelete
  2. Oalah lama menghilang ternyata lagi ngabdi di daerah terpencil ya Ga. Semangat! Di tempat gitu harus bisa jaga kesehatan... mungkin juga badan lu lagi menyesuaikan sama kondisi disana jadi harus sakit dulu, lama-lama kebal tuh pasti.

    Ceritain tentang orang-orang sana juga dong... jadi pengen tau. :D

    ReplyDelete
  3. Ngeri juga tinggal di daerah terpencil. Sakit susah, sinyal susah, aduh. Apalah dayaku manusia milenial~

    ReplyDelete
  4. Memang ya kalau mau susahnya kehidupan kita harus 'nyemplung' ke tempat yang memaksa kita hidup susah. Alhamdulillah ya Bang udah selamat dan bisa nyeritain ini semua. Gak bisa bayangin dah kalau tiba-tiba pas di tengah sungai kepleset terus kebawa arus gitu ._.

    Eh itu perawat apa siapa sih sebenarnya kok gitu banget xD

    ReplyDelete

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter