Saturday 10 November 2018

Akhirnya Berpisah

Share it Please



Gue benci dengan perpisahan. Karena gue selalu pengen nangis tiap  berpisah. Cengeng memang. Namun gue belajar dari sebuah perpisahan, bahwa hal yang kita miliki sekarang sesungguhnya begitu berharga. Kita tidak akan benar-benar menyadarainya sampai kita harus berpisah dengannya.

“Anak-anak,” teriak gue di kelas 7E.

Seluruh peserta didik diam mendengarkan gue  yang akan bicara.  Entah mengapa hari itu mereka lebih bisa dikendalikan. Padahal sehari-hari kelakuan mereka begitu brutal dan bikin gue emosi.

“Besok dan seterusnya bapak tidak mengajar kalian lagi,” ucap gue.

“Hah? Kenapa Pak?” tanya seorang murid,  Sidya namanya. Dia murid yang tenang dan pintar.

“Tugas bapak sudah selesai,” ucap gue dengan wajah cool.


“Yah bapak marah sama kita?” ucap Aziz. Dia anak paling caper di kelas  dan paling sering nyeletuk.

“Tidak, Aziz,” jawab gue.

“Yahh, kenapa enggak ngajari lagi, Pak?” kini tanya Maria. Dia juga anak yang pintar.

Etdah kan gue udah bilang tugas gue udah selesai.  Gue udah selesai praktik ngajar di sini, kata gue dalam hati, begitu geregetan.

Datang akan pergi.. lewat kan berlalu .. ada kan tiada bertemu akan berpisah .. awal kan berakhir..” tiba-tiba Azi menyanyikan lagu Sampai Jumpa-nya Endang Soekamti.

Tak lama kemudian anak-anak satu kelas ikutan nyanyi, “Hey, sampai jumpa di lain hari... untuk kita bertemu lagi... ku relakan dirimu pergi...

Sialan, kata gue. Entah kenapa mendengar lagu ini gue jadi sedih. Jangan sampai gue nangis di kelas ini. Apalagi gue lihat-lihat murid tidak ada satupun yang kelihatan ingin nangis. Jangan sampai gue yang nangis sendirian.

Semua anak ikut bernyanyi dengan kompak, walaupun di telinga orang lain suara mereka sama sekali enggak merdu. Cenderung membuat telinga berdarah. Namun entah mengapa di telinga gue, saat itu suara sumbang mereka terdengar indah, begitu syahdu  sampai gue sedih.

“Baik lah nak. Sampai bertemu lagi,” ucap gue.

Gue melangkahkan kaki ke luar kelas. Anak-anak berlarian menyerbu gue. Mencium tangan gue untuk yang terakhir kalinya. Sial, mata gue panas.

Setelah dari kelas 7F, gue juga masuk ke kelas 7D untuk perpisahan.

“Anak-anak, besok dan seterusnya kalian akan diajar oleh Bu Amini.  Bukan sama bapak,” ucap gue pada anak-anak kelas 7D.

“IHHH Bapakkk!” teriak seorang siswa. Melani namanya. Dia sedang duduk di kursi paling belakang, kemudian ia berdiri. “ENGGAK MAUUUU!” teriaknya sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Kemudain dia berlari ke depan dan duduk di meja paling depan tepat di hadapan gue.

Terus terang, gue takut melihat tingkah Melani. Gue serasa dimarahin sama murid.

“Enggak mau bapak kalo bukan sama bapak!!” teriak Melani.

“Mau sama mister aja ah,” sahut murid lainnya. Namanya  Wanda. Dia murid laki-laki yang paling lucu.

Gue enggak bisa jawab apa-apa. Gue perhatikan seluruh siswa di kelas pada diam menatap gue.

Gue kembali mengingat bagaimana pertama kali gue masuk ke kelas ini. Awalnya mereka begitu manis. Mereka penurut. Pintar-pintar pula. Namun lama-kelamaan mereka bertingkah. Selama pembelajaran selalu ribut. Setiap gue mengajar, gue hampir kehabisan suara karena harus teriak-teriak. Barulah saat itu gue sadar mereka begitu menyebalkan. Sangat menyebalkan. Gue males tiap masuk kelas ini. Namun sekarang gue harus berpisah sama mereka. Semua hal yang menyebalkan dari mereka justru berubah menjadi hal yang paling menyenangkan bagi gue. Menjadi hal yang paling gue rindukan kelak.

“Pak, jangan lupain Dinar yah,” tetiba ucap  seorang anak yang lain. Namanya Dinar. Dia anak yang pandai.

Gue mengangguk. “Yaudah yah, besok belajar sama Bu Amini,” ucap gue lagi.

“Yahhh....” kelas kembali ribut. Anak-anak kembali protes karena enggak mau gue selesai mengajar di sini.

Sialan, kembali ucap gue dalam hati. Melihat wajah memelas mereka karena enggak mau gue tinggal jadi bikin mata gue panas. Kalau kelamaan di kelas ini, gue bisa mewek.

Kemudian gue pun pergi meninggalkan kelas setelah tangan gue menjadi rebutan mereka untuk dicium.

Akhirnya berpisah. Kegiatan praktik mengajar, atau biasa disebut PPL, berakhir sudah. Cukup lama, selama tiga bulan. Namun kalau diingat, rasanya hanya sekejap.

Akhirnya berpisah. Gue kembali merasa sedih dan gelisah. Berpisah dengan murid-murid yang begitu berarti, yang baru gue sadari sesaat sebelum meninggalkan mereka.

1 comment:

  1. nanti juga bertemu dilain waktu dan dilain kesempatan pak guru

    ReplyDelete

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter