Tuesday 6 November 2018

Mas Mau Bojo Kayak Gimana?

Share it Please



“Mas?” kata Nana dari belakang.

“Iya?” jawab gue sambil memalingkan pandangan ke kaca sepion. Melihat pantulan wajah Nana di dalamnya.

“Mas mau bojo yang kayak gimana?” tanya Nana.

“...”

“Mas, kok diem? Nanti aku ngantuk,” protes Nana setelah pertanyaannya enggak gue gubris.

“Bojo’ tuh apa sih?” tanya gue yang sebenarnya bingung apa itu “Bojo.”

Nana ketawa di balik masker motor yang ia kenakan. “Istri.’ Itu Bahasa Jawa.”

Gue manggut-mangggut.

Kemudian Nana menjelaskan bahwa ‘bojo’ bisa berarti istri atau suami.

Nana adalah perempuan Jawa tulen. Saat kami ngobrol, Nana suka keceplosan menggunakan Bahasa Jawa. Seperti “menggok,” “nggih,” atau “bojo.” Aksen Jawa Nana juga begitu kental, bahkan saat ia sedang bicara Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, Nana ini ngapak banget. Pelafalan huruf “D,” dan “K”-nya medok. Gue pernah mencoba menirukan bahasa ngapaknya Nana. Namun gue gagal total. Bahasa ngapaknya sungguh sulit untuk ditiru.

Sore itu langit nampak mendung. Gue berkendara di atas motor, membonceng Nana sepulang mengajar. Kami sedang menjalankan praktik mengajar, biasa disebut PPL. Entah apa penyebabnya tiba-tiba sore itu Nana menanyakan gue mau istri yang seperti apa kelak. Terus terang, gue juga bingung mau yang seperti apa.

“Hmm... kalo kamu?” Gue malah bertanya balik. “Kamu mau bojo yang seperti apa?”


“Hmm... Aku maunya bojo yang lebih senang ngingetin aku solat daripada ngingetin aku makan,” jawab Nana.

“Oh,” kata gue.

Gue pun berfikir, kelak istri seperti apa yang gue harapkan. Yang jelas, dalam pernikahan harus ada tujuan yang sama antara suami dan istri. Mereka harus satu tujuan. Jadi istri gue kelak harus memiliki visi dan misi yang sama dengan gue.

Salah satu visi gue sih ingin mejadi orang yang nyaman bagi orang sekitar gue. Menjadi ayah yang nyaman untuk anak-anak. Menjadi suami yang nyaman untuk istri. Begitu juga keluarga gue harus menjadi keluarga yang nyaman bagi orang sekitar. Maka dari itu gue lebih memilih untuk menjadi “peredam” jika ada hal yang menyebalkan terjadi.

Misalnya gue berhadapan dengan orang menyebalkan yang omongannya nyelekit. Julid. Jangan sampai gue balas dia dengan omongan yang nyelekit pula sehingga membuat gue menjadi orang yang tidak nyaman di hadapan dia. Lagi pula kalau gue balas, gue akan sama menyebalkannya dengan dia. Jadi yah, gue “redam” aja.

Ketika situasi ini terjadi di keluarga gue, gue harap istri gue juga punya sifat “meredam.”

“Ayah, tadi bunda ketemu Bu Nur. Terus omongannya enggak enak,” misalnya ucap istri gue kelak ketika berhadapan dengan orang yang menyebalkan. Ceritanya dia habis ketemu temen pengajiannya yang julid dan nyebeli banget.

“Terus gimana, Bund?” tanya gue.

“Dia cerita anaknya yang kuliah di luar negeri. Dia ngebangga-banggain anaknya. Terus nanya-nanya anak kita sekolah dimana. Setelah tahu anak kita mondok, dia ngeremehin gitu.”

“Yauda enggak papa,” kata gue meredam sekaligus menenangkan istri. “Enggak usah ikutan ngebanggain anak kita di depan orang. Malu ah. Cukup membanggakan di depan Allah aja.”

“Hm, iyah, Yah,” jawab istri gue ikutan meredam bukannya meladeni Bu Nur dengan melempar upil ke wajah Bu Nur karna sebal.

Kembali ke percakapan gue dan Nana di atas motor.

“Nana,” kata gue.

“Iyah?”

“Aku mau bojo yang visi hidupnya sama kayak aku,” jawab gue atas pertanyaannya.

“Oh.”

“Na, kamu pernah kepikiran enggak sih kalo berkeluarga nanti pasti akan ada hal-hal nyebelin yang kita hadapin dari orang sekitar kita?” tanya gue.

“Maksuudnya?”

Gue menjelaskan bahwa kita akan menghadapi orang-orang julid perkataannya atau sifatnya. Baik dari tetangga jauh atau orang terdekat kita.

“Oh, pernah,” kata Nana setelah gue menjelaskan. Kemudian Nana bercerita bahwa ia memiliki seorang paman. Sebut saja namanya Om Parjo. Setelah menikah, Om Parjo berubah sifatnya. Setelah menikah dia lebih dekat dengan mertuanya daripada ibu kandungnya. Ibunya merasa sedih. Lalu mamahnya Nana, sebagai adik Om Parjo, mencoba “meredam” situasi itu. Mamahnya Nana menjadi lebih sering mengunjungi ibunya bersama Nana. Ia berusaha menciptakan suasana yang menyenangkan, berusaha membuat hati ibunya gembira untuk mengobati sedihnya merasa jauh dengan anak pertamanya setelah ia menikah.

“Jadi kamu memilih untuk meredam?” tanya gue.

“Iyah.”

“...” gue diam melamun.

“Mas, kok diem? Kenapa?”

“Enggak papa, Na,” jawab gue. Kok sama sih dengan visi gue? kata gue dalam hati.

Langit sore itu mulai gelap. Awan hujan sudah berkumpul tepat di atas kepala kami. Bulir-bulir air mulai menghujam tanah. Tetes hujan mengenai tangan gue yang sedang menggenggam pedal gas motor, dan juga mengenai pipi Nana yang berwarna merah jambu.

“Udah mau hujan. Ngebut sedikit yah,” gue meminta ijin ke Nana.

“Nggih, Mas.”

13 comments:

  1. Ihhh yaampun aku setuju banget sama kalian. Pasangan yabg co cweett. Pasangan atau bukan ya omong-omong. Udah bang halalin aja langsung. Petrus. Pepet terusssss.....

    ReplyDelete
  2. "bojo yang lebih senang ngingetin aku solat daripada ngingetin aku makan,” haha kata2 ini nyeletik tapi berat maknanya, smg sgera berganti status mjd bojo yg kalian😁

    ReplyDelete
  3. Kalo bisa nyari istri emang yabg se-visi. Suami yg tegas & bisa ngingetin ibadah itu harus. karena menikah kan memang diniati untuk ibadah

    ReplyDelete
  4. Sebuah sketsa yang keren. Poin besarnya juga nyampe. Kebayang rasanya ada diposisi itu. Bisa dikembangkan jadi cerita utuh. Menarik.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Pasti dia punya kepri. Hehehadian plegmastis ya kan? Soalnya orangnya cinta damai. Hihihi
    Kalo aku maunya yang diingetin makan, kalo solat udah kewajiban kan ga perlu diingetin lagi. Wkwk...

    ReplyDelete
  7. Cie, gasin aja itu mas sama Nana. Iya sih, aku juga suka mikir kalau ada sesuatu yang menjengkelkan, mending kita jadi "peredam". Apa bedanya kita dengan mereka kalau kita balik menyerang. Semuanya tidak akan selesai kalau serang-serangan terus

    ReplyDelete
  8. Nah, bagus nih pemikirannya, setelah jadi kepala keluarga nanti pengen jadi sosok yang nyaman buat keluarga. Semoga segera ketemu dengan bojonya ya...

    ReplyDelete
  9. Nah setuju, Mas. Aku ya gitu pengen jadi orang nyaman bagi orang sekitar, terlebih istri. Idaman banget keluarga seperti itu, saling meredam saling mengerti satu sama lain juga.

    ReplyDelete
  10. Bener banget Ga, jadi suami 'peredam' emang udah paling cihuy 😁
    Kalau udah nikah nanti, masalah hidup selain faktor ekonomi itu ya faktor omongan tetangga. Omongannya bisa pedes2 banget, kalo nggak ada sosok yang bisa 'meredam' kemungkinannya ada dua, istrinya bisa berantem sama tetangga (kalo istri orangnya nggak terimaan) atau istrinya mewek di rumah. Makanya pinter2nya suami aja buat mengubah 'yaudah...' menjadi kalimat yang menenangkan. Ini juga berlaku di momen lain, 'yaudah....' ini kayaknya skill yang wajib banget dimiliki suami. Sebagai peredam dan penenang istri disaat gundah gulana. #halah 😁

    ReplyDelete
  11. Gua blom nikah, tp untuk masalah meredam bisa diartikatakan bodo amat mungkin yah. Soalnya gua gtu, klo nyokap lg nyeritain tetangga yang kelakuannya kaya Thanos, gua cuma bilang "Ya udah lah mah biarin aja. Thanos juga ujung2nya mati juga kalo kebangetan sombong"
    Ini postingan 2018 ? Trus skrang gmna nasih Nana ? Apa kalian sudah..... #kepo

    ReplyDelete
  12. Mantapppppp!

    Gas aja bang, maksudnya itu tadi minta izin ke nana kan. Yaudah gas aja wkwkwk

    Jadi gimana mas keadaan sekarang? Udah jadi suami istri yang sah kalian? Eh, atau jangan-jangan ini memang cerita sebelum kalian menikah xD

    ReplyDelete
  13. Uhuyyy!! Long time ngga wara wiri..
    Perdana menapakkan kaki kembali, disuguhkan cerita yang uwu uwu.
    KZL! IRI!
    Ciyeeeee, Nana calon Bojo, Kah, Bang?

    Emang sih, kita harus punya pasangan yang bisa meredam apapun masalah yang ada. Bukan bikin suasana makin panas kek koyo. Udah panas, perih pula.

    Tapi terkadang cuma ngingetin solat aja ngga cukup, maunya diajakin solat bareng, gimana yaaaa -_-
    Solat di mesjid diimamin sama imam mesjid gitu :3

    ReplyDelete

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter