Tuesday 1 December 2015

Balada Sidang Skripsi

Share it Please



“Gimana skripsinya, Yoga?” tanya bokap sambil nepuk bahu gue dari belakang.

Gue lagi duduk di kursi membelakangi bokap yang berdiri di belakang. Gue menghadap ke monitor yang berada tepat didepan. Saat itu gue lagi main game motogp di pc. Gue lagi asik nyetir Valentino Rossi di tikungan, pas bokap nanya itu, gue langsung nyungsruk. “Ehm... masi bab awal-awal, Pah,” jawab gue asal. Gue restart gamenya dan asyik lanjutin maen Motogp.

Bokap diem sebentar. Beliau juga ikut nonton gue lagi maen game. Enggak lama, “Targetnya, kapan selesai?” bokap nanya lagi.

Saat itu gue lagi standing selebrasi menjelang finish, saat bokap nanya, motor gue langsung ngejengkang. “Err... Ehm, mungkin dua bulan lagi, Pah,” jawab gue lagi-lagi dengan asal-asalan. Setelah itu, gue langsung matikan PC. Gue pergi menjauh dari bokap. Sejak saat itu, gue enggak mau deket-deket bokap. Gue takut ditanyain tentang skripsi.

Gue masih asik sama hobby gue seperti main game, nulis blog, nonton FTV. Setelah berkali-kali disalahin sama dosen pembimbing, gue jadi males ngerjain skripsi. Gue merasa apapun yang gue ketik selalu salah di mata dosen gue. Mana dosen gue cewek lagi. Cewek selalu benar, dosen pembimbing juga selalu benar. Dosen pembimbing gue cewek! Tamatlah  gue.

Gue juga mikir, masa berlaku SK penelitian gue juga masih panjang, jadi selow ajah lah.

Karna itu, gue jadi melampiaskan kekesalan gue sama hobby gue. Disaat harusnya gue fokus menggarap skripsi, gue jadinya malah asik sama hobby sendiri.

“Bro, gimana nih skripsi?” tanya gue ke Sigit, temen kelas gue. Saat itu gue bareng Sigit dan Topik di tempat makan sebuah pusat perbelanjaan deket kampus.

“Masih jauh, Bro. Eh, saya lagi bisnis kripik nih sama cokelat. Mau enggak?” jawab Sigit.

Sigit malah lagi jalanin bisnis, bukan ngerjain skripsi. Ah, Sigit aja masih tenang, enggak buru-buru ngerjain skripsi, gue juga santai aja lah, ucap batin gue.

“Ga, kita nulis buku bareng mau enggak?” kata Topik. Topik juga teman sekelas gue. Dia anak blogger.

“Boleh, gimana temanya?” sahut gue meng-iya-kan.

Gue dan Topik memang sama-sama suka nulis. Kami berdua juga satu komunitas blogger. Namanya Blogger Energy. Kami juga sama-sama menyukai tulisan komedi seperti Raditya Dika, Alitt, Poconggg. Memang kami punya banyak kesamaan. Dari sekian banyak kesamaan, satu hal yang membedakan, dia ganteng, gue enggak.

Akhirnya, dengan semangat membuncah gue dan Topik bertekad menulis sebuah buku. Sejak saat itu, orientasi gue nambah lagi. Selain main game, nonton FTV, dan ngeblog, gue pengen nulis buku. Yoi, men. NULIS BUKU!!

Skripsi gue gimana? Ah, bodo amat! Kalo bokap nanya gimana? Ah... ehm... gue bakal menghindar dari bokap.

“Ya personal literature kayak Radit aja. Komedi remaja tetep,” Topik memberikan ide tentang tema calon buku kami.

“Ehm, tentang masalah selama kuliah Pendidikan Bahasa Inggris ini aja kali yah,” gue menyambut ide Topik.

Kesepakatan sudah ditetapkan. Gue dan Topik mulai mengerjakan project menulis buku ini. Yeah!

Hari demi hari gue terus mencari ide tulisan. Kuota internet yang biasa dipakek buat cari jurnal penelitian, gue pakek untuk searching materi tulisan. Sedikit-demi sedikit ide tulisan bermunculan. Gue jadi makin semangat. Saking semangatnya, bahkan saat itu gue sering melakukan multi tasking seperti makan sambil nulis, pup sambil nulis materi di note hape, makan sambil nulis sambil pup.

Selang sebulan, naskah gabungan gue dan Topik rampung. Kami pun langsung mengirimkan ke penerbit lewat e-mail. Tsah!

Selanjutnya, kami tinggal menunggu respon dari penerbit. Bentar lagi bakal jadi penulis nih gue dan Topik. Beuh, dagdigdug rasanya. Kalo udah terbit nanti pasti buku ini bakal keren. Gue membayangkan betapa gaulnya buku gue dan Topik nanti mejeng di rak buku Gramedia. Betapa ciamiknya nanti gue melihat anak-anak remaja labil berikut cabe-cabean sedang membaca buku kami berdua. Betapa gregetnya royalti masuk ke kantong kami berdua nanti. Ini pasti bakal keren. Sedangkan skripsi sama sekali enggak keren. Skripsi enggak asik, karna enggak bisa mejeng di Gramedia. Enggak bisa dibaca remaja labil beserta cabe-cabean. Enggak ngasilin duit!

Saat itu gue lagi nulis blog sambil ngisi waktu nunggu kabar dari penerbit. Gue lagi asyik-asyiknya ngetik, hape gue berbunyi. Gue meraih hape yang ada di depan gue. Sebuah chat masuk dari Intan, temen sekelas gue.

Intan:
Mohon doanya ya, besok aku sidang skripsi.

Begitu kira-kira isi chat dari Intan.

Gue terkejut, Intan mau sidang skripsi? Batin gue bergejolak. Tiba-tiba gue lemes. Gue ingat-ingat perkembangan skripsi gue. Sedih rasanya. Udah sejauh ini gue masih aja ngerjain bab awal. Bahkan melakukan penelitian juga gue belum. Sedangkan Intan udah mau sidang besoknya.

Beberapa menit gue merasa down. Chat dari Intan benar-benar merubah susana hati gue yang tadinya riang gembira menggebu-gebu main game, ngerjain project tulisan, nonton FTV. Gue jadi down. Jujur. Gue tinggalkan komputer yang masih menyala, lalu membaringkan diri di kasur, meluk guling dengan wajah sendu, terus selfie, lalu diupload ke instagram gue. Selang beberapa menit gue cek kembali instagram gue. Dan disana enggak ada satupun love untuk foto gue. Gue makin down.

Setelah puas dengan perasaan down gue, gue langsung bangkit. Gue haus, mau minum.

Setelah minum, gue kembali duduk di depan komputer. Gue tutup game motogp, gue close mozila fire fox gue. Mata gue tertuju pada shortcut windows explorer di monitor. Gue buka, lalu mulai mengerjakan draft skripsi gue yang masih prematur.

Selain Intan, banyak teman sekelas gue yang juga mau sidang, seperti Alpiyah, Heny.

Chat dari Intan langsung merubah diri gue. Gue langsung bangkit ngerjain skripsi dari yang tadinya males dan menyepelekannya. Memang, Intan sering bikin gue berubah-ubah perasaan. Kadang pas lagi bete, gue langsung berubah seneng ketika ada chat dari Intan. Tapi gue berubah jadi kembali bete kalo Intan enggak bales lagi chat balasan dari gue.

Satu minggu berselang, belum ada kabar dari penerbit.

“Ga, gimana naskah?” tanya Topik perhatian.

“Blum ada kabar, Pik. Baru seminggu,”

Kami masih selow. Wajar sih, baru juga satu minggu. Ini masih terlalu prematur untuk berharap jawaban dari penerbit.

Sebulan berlalu, ada satu email masuk dari penerbit. Setelah dibaca ternyata naskah kami ditolak. Ahhh...

“Ditolak, Pik,” gue memberi kabar ke Topik.

“Kirim lagi ke penerbit lain, Ga!” Topik memberi saran cerdas.

Gue pun mengirim naskah itu ke penerbit lainnya. Kami menunggu lagi.

Satu bulan berlalu lagi. Tapi naskah belum ada pemberitahuan bagaimana kelanjutannya. Total dua bulan gue menghabiskan waktu untuk proect ini. Gue inget, SK skripsi gue sudah habis. Karna project naskah ini gue jadi sama sekali enggak menyentuh skripsi gue. Kalo SK habis, gue harus memperpanjangnya dengan membayar sejumlah uang. Haduh. Naskah enggak terbit, gue malah harus keluar duit. Apes banget dah. Ini ibarat orang jatuh, tertimpa tangga, terus ditanyain udah sampe mana skripsinya.

“Mau bayar apa, Mas?” Tanya mba-mbak teller bank kampus.

“Perpanjang SK,” jawab gue.

Akhirnya 600 rb gue melayang untuk memperpanjang SK skripsi. Gue jadi nyesel dua bulan gue terbuang sia-sia. Andai aja gue lebih memilih ngebut garap skripsi, mungkin skripsi gue udah kelar, dan bisa ikut sidang bareng Intan. Ini semua gara-gara project nulis kampret. Gue kira  nerbitin buku itu gampang, taunya susah. Salah satu alasannya ya itu, harus nunggu lama kabar dari penerbit, itu juga belum tentu diterima. Ah, sial.

Kali ini gue enggak mau menyia-nyiakan waktu. Gue harus kebut ngerjain skripsi. Cukup bagi gue Intan mendahului gue untuk sidang skripsi. Jangan sampai Intan juga mendahului gue wisuda kelak. Gue masih punya kesempatan untuk sidang skripsi di gelombang selanjutnya dan wisuda bareng Intan. Project nulis buku? Bodo amat! Game dan nonton FTV? Persetan! Bokap nanyain tentang skripsi? Nah, itu orientasi gue. Gue pengen dengan gagah dan meyakinkan ketika menjawab pertanyaan bokap kelak.

Gue bakal kebut skripsi biar gue bisa jawab pertanyaan bokap dengan keren seperti begini:

“Sampai mana skripsimu?” tanya bokap.

“Uh... udah mau selesai dong, Pah. Tinggal garap bab lima,” jawab gue dengan jumawa sambil mukul-mukul dada. Selanjutnya gue batuk-batuk karna mukulnya kekencengan.

Setelah selesai sidang, banyak foto-foto euforia kelulusan sidang skripsi temen-temen yang bertabaran di recent update bbm, begitu pun di timeline facebook gue. Intan, Heny, dan Alpiyah juga terlibat di dalamnya. Mereka berfoto ria dengan wajah yang bahagia karna telah dinyatakan lulus sidang dan resmi mendapat gelar sarjana. Gue yang melihatnya cuma bisa ngelus dada. Sedih melihatnya. Mereka sudah dinyatakan lulus, gue masih aja ngurek-ngurek jurnal.
Padahal, pasti seru banget kalo gue bisa sidang bareng mereka. Bisa foto bareng mereka. Gue pasti senengggggg banget.

Karna enggak kuat melihat euforia mereka, gue matikan hape. Matikan komputer. Lalu tidur. Iyah, gue juga ngantuk malam itu.

***
Setelah dengan perjuangan keras, akhirnya tiba giliran gue untuk sidang skripsi. Tiga bulan setelah Intan dkk sidang, gue baru ikutan sidang. Yah, tiga bulan, men. Waktu yang lumayan lama. Selama tiga bulan itu juga, gue belum dapet kabar dari penerbit mengenai naskah gue dan Topik. Sedih sedih.

Gue lesehan duduk di depan ruang sidang. Di dalam ruang sidang ada kakak kelas gue, Sandy, yang sepertinya sedang dibantai oleh dosen penguji. Gue bisa berfikiran seperti itu karna dia lama banget di dalam. Apa lagi coba kalo bukan sedang dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan mematikan dari dosen penguji. Semoga dia baik-baik aja didalam.

Gue bakalan masuk ruangan setelah Abang Sandy. Perasaan gue enggak menentu. Antara nervous, enggak sabar, sampai mules. Kampret, menyiksa banget.

Di saat gue sedang gelisah bercampur mules, Heny dan Alpiyah datang. Mereka dateng untuk mensuport gue. Iyah, kayaknya sih begitu. Selain gue, banyak juga temen sekelas yang ikut sidang. Ini menjadi semacam temu kangen karna sudah lama kami enggak ngumpul bareng.

Gue seneng banget ada Heny. Udah lama banget gue enggak ngeledekin dia, enggak bikin dia ketawa. Selama kuliah di kelas, gue  memang sering banget bercandain Heny. Soalnya Heny ini sosok yang bisa banget diledek. Bodynya mungil, hidungnya mungil, jempolnya mungil. Lebih mungil dari kelingking gue. Pokoknya serba minimalis. Aaahhh, bikin gue gemes. Pengen banget nyubit seluruh badanya. Nyubitnya pake gunting kuku.

Tapi sayang, Intan enggak dateng. Rasanya jadi enggak lengkap. Ini ibarat sayur tanpa kuah. Nah, kebayangkan gimana rasanya. Seret men!

Akhirnya setelah ketawa-ketiwi sama Heny, enggak kerasa, Abang Sandy keluar dari ruang sidang. Dia keluar sambil merangkak. Keringat mengucur deras di dahinya. Wajahnya pucat. Seluruh orang ngebantu dia berdiri.

 “Ga, giliran elo yah?” tanya Heny.

“Iyah, nih. Duh,” jawab gue. Peraasaan gue makin enggak menentu.

“Semangat, ya!” kata Heny mengepalkan tangan.

Gue masuk secara slow motion ke dalam ruang sidang. Gue buka pintu dengan sangat pelan. Gue langkahkan kaki pertama dengan gerakan perlahan. Langkah kaki kedua menyusul setelahnya. Gue nunduk sambil terus jalan slow motion.

“Ehm,, Yoga, bisa dipercepat?” ucap salah satu dosen penguji.

“I-iyah, Bu,” gue langsung mempercepat langkah ke kursi panas, kursi persidangan, tempat gue dan mahasiswa lainnya dibombardir pertanyaan-pertanyaan mengerikan.

Di hadapan gue ada dua dosen penguji. Dan... semuanya cewek, men! Cewek selalu benar. Dosen penguji selalu benar. Dosen penguji gue cewek! Tamat!

Gue diberi waktu selama sepuluh menit untuk menjelaskan singkat konten skripsi gue. Dengan bantuan power poin gue yang didisplay lewat proyektor, gue cas-cis-cus menjelaskan isi skripsi gue. Gue cukup yakin dengan ini semua.

“Oke, jelaskan maksud dari judul kamu ini! Saya masih belum mengerti,” ucap dosen penguji ke dua. Entah kenapa, dosen penguji kedua justru memberi pertanyaan pertama. Ehm, mungkin ada saatnya yang kedua dijadikan yang pertama.

“Ehm.. i-ini maksudnya seperti ini bu...” gue menjelaskan dengan hati-hati.

Setelah itu, beliau menerima penjelasan gue dengan lembut sambil manggut-manggut.

“Bagaimana cara kamu menjawab rumusan masalah yang pertama ini?” tanya dosen penguji pertama. Nah, dosen pertama gue ini baru bertanya. Dan pertanyaannya cukup gampang. Cemen!

“Dengan observasi, Bu,” jawab gue dengan yakin. Gue jujur dan benar-benar mengerjakan skripsi dengan usaha sendiri. Karna itu lah gue paham betul bagaimana langkah-langkah dan bentuk penelitian gue.

“Mana lembar observasinya? Bagaimana bentuknya?”

“Ini di belakang, Bu. Bentuknya field note (catatan harian),” jawab gue santai.

“Bukan seperti ini,”

“Dengg...” jawaban dosen pertama ini langsung memecah konsentrasi gue. “Ta-tapi memang itu bentuknya, Bu,” jawab gue bingung.

“Kamu melakukan penelitian, kan?”

“I-iyah, Bu.”

“Mana bentuknya?”

“Itu, Bu,” gue makin bingung.

“Di mana? Kamu melakukan penelitian, Kan?”

Ini pertanyaan dosen makin ngelantur, atau memang guenya yang bego. Gue sudah jawab apa bentuk penelitian gue, tapi beliau masih ngulang-ngulang pertanyaan, “mana..mana?”

“Kamu melakukan penelitian kan? Tanya beliau lagi.

Gue merasa antara bingung dan kesel sama pertanyaannya. Pengen banget saat itu gue jawab, “Iya  saya melakukan penelitian, Bu. Dan sebentar lagi saya melakukan tindak penganiayaan nih, Bu.”

“Baiklah, nanti diperbaiki, ya!” ucapnya.

Akhirnya, setelah menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bikin pusing, sidang pun selesai. Gue diperbolehkan keluar ruangan. Fyuh!

Sore harinya pengumuman hasil sidang diberitahukan. Dan... akhirnya gue lulus. Yeayyy.... walau sempat kacau menjawab pertanyaan dosen penguji, tapi alhamdulillah gue masih bisa lulus. Semua teman yang bareng sidang dengan gue juga dinyatakan lulus. Yeayyyy....

Sungguh, itu hari yang membahagiakan.

Tepat setelah pengumuman kelulusan, gue dan temen-temen kelas saat itu ikut sidang, melakukan photo bersama. Cowok dua orang, termasuk gue, dan lima liannya cewek. Kami melampiaskan kebahagiaan dengan berpohoto ria. Kami photo dengan berbagai phose, tapi kebanyakan phosenya alay dan menjijikan. Gue dengan memajukan bibir, Abang dimas, cowok setelah gue, dengan phose mengigit telunjuk.

Walau photo kami isinya menjijikan dan tidak patut dilihat, tapi ini pelampiasan kebahagiaan yang sangat positif. Beda dengan anak-anak SMA labil di luar sana yang mencoret-coret baju seragam, minum-minuman keras, pesta sex. Dibandingkan itu semua, sungguh photo-photo seperti ini adalah jalan yang positif melampiaskan kebahagiaan.

Setelah itu, gue merasa lega. Bokap enggak lagi nanyain gimana perkembangan skripsi gue. Kini pertanyaan bokap berubah jadi, “Untuk wisuda butuh apa aja? Nanti papah siapin.”

Sungguh, pertanyaan yang syahdu banget dari bokap. T,T

Salin itu, gue kembali bisa menekuni hobby gue. Gue mulai kembali nonton FTV, main game motogp di komputer. Gue mulai kembali nulis di blog. Gue mulai kembali ngurusin naskah buku gue dan Topik.

Gue pergi ke gramedia. Tujuan gue bukan sekedar mencari buku, tapi juga melihat dan mencatat nama-nama penerbit untuk referensi pengiriman naskah gue dan Topik. Selain itu, gue sering searching tips nerbitin buku. Gue pernah sampai di halaman blog orang, dia menjelaskan bahwa modal awal untuk nerbitin buku ya harus punya naskah. Walau ditolak beberapa kali, naskah yang sudah rampung kita tulis ini pasti berguna suatu saat kelak. Tiap ditolak, perbaiki, lalu ajukan lagi. Sebagian besar penulis pasti pernah merasakan fase “ditolak-perbaiki-coba lagi” ini. Gue jadi mengerti, naskah yang sempat menghambat skripsi gue ini sebaiknya jangan gue sesali. Gue justru kini merasa beruntung karna berhasil nulis naskah itu. Kini gue tinggal jalanin aja fase “ditolak-perbaiki-coba lagi” ini.

Dan akhirnya setelah skripsi gue kelar, kehidupan gue kembali normal. Bahkan berubah menjadi lebih baik.

Well, this is the end of my post. If you have something to say, just write your comment below! See ya.

No comments:

Post a Comment

Profil Penulis

My photo
Penulis blog ini adalah seorang lelaki jantan bernama Nurul Prayoga Abdillah, S.Pd. Ia baru saja menyelesaikan studinya di bidang Pendidikan Bahasa Inggris. Ia berniat meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk memperdalam ilmu Pendidikan Bahasa Tumbuhan, namun sayang belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Panggil saja ia “Yoga.” Ia adalah lelaki perkasa yang sangat sayang sekali sama Raisa. Di kamarnya banyak sekali terpajang foto Raisa. Sesekali di waktu senggangnya, ia mengedit foto Raisa seolah-olah sedang dirangkul oleh dirinya, atau sedang bersandar di bahunya, atau sedang menampar jidatnya yang lebar. Perlu anda tahu, Yoga memiliki jidat yang lebar. Karna itu ia sering masuk angin jika terlalu lama terpapar angin di area wajah. Jika anda ingin berkonsultasi seputar mata pelajaran Bahasa Inggris, atau bertanya-tanya tentang dunia kuliah, atau ingin mengirim penipuan “Mamah Minta Pulsa” silahkan anda kirim pesan anda ke nurulprayoga93@gmail.com. Atau mention ke twitternya di @nurulprayoga.

Find My Moments

Twitter